Ayo Bangun Perguruan Tinggi Desa (PTDes)
Perjalanan riset saya di desa-desa Indonesia menemukan masalah mendasar berupa lemahnya penguasaan rakyat desa atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah ini telah lama berimplikasi pada kelambatan inovasi bisnis, kecilnya nilai tambah ekonomi, dan ketergantungan desa pada perantara dari luar desa, pun termasuk perguruan tinggi dan LSM. Keberdikarian dan keahlian orang desa yang dahulu pernah mewujud telah memudar dan berganti oleh dominasi korporasi swasta besar dari luar desa.
Ribuan fakultas di perguruan tinggi se-Indonesia kiranya belum sepenuhnya mampu menjawab akar persoalan ekonomi rakyat desa tersebut. Sedikitnya kisah sukses desa mandiri seakan menjadi pertanda pendidikan tinggi kita yang belum sepenuhnya berorientasi pada keberdikarian desa. Alih-alih itu, jiwa keberdikarian perguruan tinggi justru masih menjadi tanda tanya manakala terjadi penetrasi institusional Bank Dunia dan Pemerintah AS di beberapa perguruan tinggi kita.
Banyak anak-anak muda desa yang telah dididik di perguruan tinggi kita tetapi sebagai besar justru menjadi lupa dengan jatidiri dan tugas mulianya untuk kembali membangun desa. Sebagian mereka bahkan lebih bangga berdasi meski hanya untuk sekedar menjadi buruh korporasi dari luar negeri. Pun sebagian lagi telanjur tercerabut dari akar mereka di desa, namun tak juga mendapat tempat di pasar tenaga kerja, sehingga menambah panjang deret pengangguran terdidik di negeri ini.
Pendidikan kita tak kunjung mampu merombak pola relasi yang timpang antara desa dan kota. Desa dengan segala kekayaannya masih menjadi pemasok yang setia bagi kemakmuran masyarakat kota dengan kontraprestasi yang tidak sepantasnya. Telah begitu banyak hutan dan kebun yang ditumbuhkan, pun tak terhitung lagi jutaan ton aneka mineral dan tambang yang dikeruk dari desa, sementara mayoritas penduduk miskin masih tertinggal di desa, dan marjinalisasi terus terjadi di sana.
Melihat berbagai situasi ini kiranya kita perlu berhitung ulang atas peran perguruan tinggi atas kemajuan desa. Pola relasi yang selama ini terbangun di mana prakarsa transfer iptek selalu datang dari luar desa perlu ditinjau ulang dengan semangat tranformasi kuasa pengetahuan oleh rakyat desa. Efektifitas proses tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan penguasaan metodologi pengembangan iptek oleh mereka, di mana mereka lah yang akan merancang tata kelola pengetahuan dan pembangunan di wilayah desa.
Berlatar belakang itulah saya membayangkan model pendidikan alternatif yang saya sebut dengan “Perguruan Tinggi Desa (PTDes)”, yang selanjutnya dapat diberi nama secara khusus semisal Sekolah Tinggi Sriharjo (Sriharjo College), Argosari Cllege, dan sebagainya. Dalam PTDes maka rancang bangun pendidikan yang berbasis kemakmuran dan keberdikarian desa dilakukan secara kolektif oleh masyarakat desa.
Pun semua keahlian yang diperlukan untuk membangun desa disedikan oleh PTDes yang akan mendisain kurikulum, merekrut tenaga pengajar dari dalam dan luar desa, serta menyelenggarakan bermacam pendidikan dan pelatihan aplikasi iptek yang diperlukan seluruh warga desa. PTDes ini kiranya sejalan dengan perluasan peran desa yang menjadi semangat RUU Desa yang akan segera disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
PTDes inilah yang akan merebut kuasa iptek yang selama ini didominasi oleh elit-elit akademisi di pusat kota bahkan di luar negara. Ialah juga akan mampu melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif desa yang memiliki keahlian spesifik semisal di bidang teknik, usaha, sosial-politik, hukum, dan kesehatan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kemajuan dan keberdikarian masyarakat desa. Tugas mulia mereka adalah memobilisasi penggunaan potensi sumber daya domestik desa dengan penguasaan iptek mereka.
PTDes akan menjadi media revolusi kebudayaan (kesadaran) dan persemaian keahlian warga desa, semisal dalam inovasi energi berbasis tenaga surya, mikro-hidro, sampah, dan kotoran ternak. Pun ia akan menjadi inkubator pemikiran dan perencanaan tumbuh kembangnya bisnis koperasi, ekonomi rakyat desa, trading house, klinik kesehatan, keuangan mikro, wisata desa, industri rumah tangga dan industri desa, serta berbagai inovasi berbasis iptek lainnya.
Model seperti ini telah berhasil dilakukan di India oleh Bunker Roy dengan Bare-foot College-nya yang sudah membuat warga desa mampu menguasai energi berbasis tenaga surya. Bare-foot college juga telah mendidik warga desa untuk memiliki keahlian professional sepertihalnya teknisi, guru, akuntan, dan sebagainya, seperti yang biasa dilakukan lembaga pendidikan formal di kota-kota besar. Lebih dari itu Roy telah mengenalkan model Sekolah Malam (Night School) bagi anak-anak desa yang karena keterbatasan keluarga harus bekerja di siang hari.
PTDes yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa akan menjadi konsultan bagi rencana pembangunan desa dan berbagai program (project) yang masuk ke desa. Ialah yang akan membantu mengarahkan proses transformasi desa melalui rancang bangun pemajuan dan pemandirian desa selama kurun waktu 5-10 tahun depan. Pada akhirnya melalui PTDes lah masyarakat desa sanggup dengan penuh wibawa mengucapkan selamat tinggal pada Bank Dunia. Cukup sudah utang-utang lunak yang harus dikompensasi mahal dengan terkurasnya kekayaan alam Indonesia.
Pada awalnya disain PTDes dirancang se-sederhana mungkin dengan mempertimbangkan kapasitas sumber daya desa. Pendanaan dapat dilakukan melalui dukungan APBDes, dana pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM nasional. Dalam pelaksanaan programnya maka PTDes dapat berkerjama dengan berbagai perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, Dinas Pendidikan, dan LSM, tentu dengan perencaan kolektif yang didasarkan pada kebutuhan dan rencana kerja PTDes.
Dalam pada itu, sesuai dengan tuntutan perubahan peran perguruan tinggi di atas, maka tugas mulia kita adalah melembagakan pendidikan alternatif tersebut melalui fasilitasi pendirian PTDes. Perguruan tinggi lah yang akan mengajari calon-calon pengelola PTDes bagaimana mendisain kurikulum, metode pembelajaran, rekruitmen ahli, dan proses penyelenggaran pendidikan dan pelatihan sampai pada kebutuhan-kebutuhan detail dan operasional.
Saya sangat memimpikan keberadaan PTDes ini dan akan berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya. Sampai saat ini saya banyak daerah dan kota yang saya datangi untuk berbicara tentang ekonomi kerakyatan dan keberdikarian ekonomi desa. Sayangnya kebanyakan undangan tersebut berasal dari pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM, bahkan mungkin tak pernah sekali pun yang berasal dari organisasi rakyat desa, mereka yang selama ini rajin dan rutin kita diskusikan.
Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri. PTDes yang memberi kesempatan dan kemampuan masyarakat desa untuk mengelola pengetahuan secara mandiri adalah salah satu alternatif untuk itu. Sungguh saya sangat memimpikan kelak banyak undangan mengajar, seminar, pelatihan, dan diskusi dari organisasi rakyat desa seperti PTDes. Pada saat itulah pertanda sinar kebangkitan kembali rakyat desa Indonesia mulai terpancar dan harapan mereka untuk menjadi tuan di desa sendiri akan segera menjadi kenyataan. Semoga.
[1] Dosen negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Peneliti | Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM | Ketua Bidang Diklat Mubyarto Institute, dan Pendiri Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), Direktur Iptek bagi Kewirausahaan
ph: 08161691650, web:www.ekonomikerakyatan.com,
email: satriaegalita@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar