Melanjutkan Pak Muby (Mengenang Sewindu Profesor Mubyarto)
Melanjutkan Pak Muby (Mengenang Sewindu Profesor Mubyarto)
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Profesor Ekonomi Rakyat, dan Ekonom Pancasila
Oleh : Awan Santosa[1]
Sampai kemudian Pak Muby bertanya ke aparat Pemda yang menjemput kita, “Pak, di mana ya desa yang paling miskin disini?”. Pertanyaan inilah yang akhirnya membawa kita 30 km dari lokasi semula, 45 menit perjalanan ke pelosok yang berlikunya tiada tara. Meski sedikit mual mesti semangat ‘45, malu saya yang masih muda.
Dan itulah pelajaran Pak Muby. “Semakin sulit kita memperoleh data, maka ia akan semakin berharga”. Sekedar data tanpa impresi maka dalamnya akan kosong belaka. Karenanya, turun ke lapangan dan pelosok desa adalah ajaran yang sangat bermakna. Pak Muby begitu prihatin dengan jiwa-jiwa kosong anak muda, yang lebih sering dijejali statistik dan ekonometrika.
Dan dua tahun kemudian adalah kuliah yang sesungguhnya. Keluar masuk pelosok Kutai Barat, Nganjuk, Gunungkidul, dan Kulon Progo benar-benar menempa, bukan bagi akal pikiran semata, tetapi juga hati dan jiwa. Bukan saja Soekarno yang penyambung lidah rakyat Indonesia, tetapi juga Pak Muby, seorang ilmuwan yang selalu menulis hasil kunjungan lapangnya.
***
Siang itu begitu istimewa. Itulah Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM pertama, yang saya diminta Pak Muby sebagai pembicaranya. Pesertanya pun luar biasa. Ada ekonom dosen saya, mantan menteri dan pejabat di Jakarta, para senior, pemikir, dan aktivis di Yogyakarta. Dan, sungguh terbang berjuta rasanya ketika Pak Muby bilang di saat selesei paparan paper saya, “Bagus…”.
Setiap teringat ini saya tak kuasa membendung air mata. Seminar itu ternyata bukan saja pertama bagi saya, tetapi juga terakhir bersama Pak Muby, guru saya. Seminar itu di bulan Mei 2005, beberapa hari sebelum Pak Muby meninggalkan kita. Kepercayaan kepada yang muda, tidak pernah berhenti mengajarinya. Inilah ajaran Pak Muby yang kian sulit diganti siapapun juga.
Ahh, sampai hati kita menyia-nyiakan warisannya yang begitu berharga. 3 tahun Seminar Bulanan yang tak pernah putus, sungguh luar biasa. Menulis paper dan diskusi dengan sangat bergairah, itulah sejatinya kaum intelegensia. Seperti apapun respon diskusi anak-anak muda didikannya, Pak Muby selalu menjawab dengan antusiasme yang tiada terkira.
***
Hari itu lain dari biasanya. Kuliah Ekstra Ekonomi Pancasila (KEEP) sudah memasuki bulan ketiga. Pagi itu, 20 Mei 2005 Pak Muby akan tampil lagi sebagai pembicaranya. Entah kenapa, saya merasa hari itu Pak Muby tak akan bisa menjadi pembicara. Dan benar saja, setelah beberapa saat menunggu beliau tidak hadir. Saya pun menggantikannya bicara, soal nasionalisme ekonomi Indonesia.
Selang tak berapa lama ada kabar bahwa Pak Muby terkena serangan jantung di pagi harinya. Dalam waktu segera beliau dirawat di RS Sarjito Yogyakarta. Dengan perasaan tak menentu, saya melanjutkan pembicaraan di kelas ekstra. Sampai tengah hari datang berita dari RS Pak Muby berpesan kepada kita semua, peserta kuliah ekstra.
Pak Muby meminta kita membaca beberapa judul buku yang relevan dengan topik kuliah ekstra. Sungguh ini membuat kita semua terhenyak tak percaya. Baru beberapa saat terlepas dari kejadian yang dapat mengancam jiwanya dan beliau langsung ingat soal kuliah ekstra. Kata berhenti dan lupa kiranya sudah terhapus dari kamus hidup Pak Muby.
Dan tak disangka 24 Mei 2005 Pak Muby berpulang selamanya. Sungguh kehilangan seorang Bapak dan Guru yang tak terperi rasa sedihnya. Pejuang yang selalu konsisten di garis pemikiran dan keyakinannya. Sebagai murid mula-mula, di ICU Sardjito saya hanya bisa bertanya dalam linangan air mata, “Siapa lagi yang akan membela saya?”.
***
Beberapa bulan sebelum meninggal Pak Muby dikabarkan menjadi kandidat rektor Universitas Wangsa Manggala (sekarang UMB Yogyakarta). Keadaan berubah ketika terjadi “insiden” disaat Pak Muby berbicara dalam seminar disana. Beliau sangat terpukul dan kecewa. Bukan kebetulan, saya diterima menjadi dosen negeri dpk dan ditempatkan di Universitas Wangsa Manggala.
Kini sewindu telah berlalu meski Pak Muby tak pernah menjadi masa lalu. Segala pujian dan kenangan tak banyak berarti seandainya kita tak lagi sungguh-sungguh melanjutkannya. Setelah jatuh bangun dengan Sekolah Ekonomi Rakyat, Koperasi Ekora, Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), dan Perguruan Tinggi Desa (PTDes) yang terhenti di tengah jalan, kini mulai muncul pertanda bahagia.
Bersama kolega di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM saat ini saya merintis Sekolah Pasar, yang menghimpun hingga 100 anak muda dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Gerakan mengajar di Pasar Kranggan-Yogyakarta, Pasar Grabag-Purworejo, dan Pasar Cokrokembang-Klaten ini telah berlangsung sejak setahun yang lalu dengan dukungan pula dari Kementerian Perdagangan Indonesia.
Sebelumnya pun, setahun lebih saya dan kolega berkeliling dari desa ke desa di Sleman, Bantul, dan Kulon Progo untuk merintis DesaMart, ikhtiar kampanye produk desa. Saat ini DesaMart dikelola oleh para sarjana muda dan mahasiswa. Melanjutkan Pak Muby, maka membangun kemandirian desa adalah jalan untuk mengubah Indonesia.
Dan mulai sebulan yang lalu, bersama mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta saya merintis Sekolah Perubahan, Sekolah Desa Mandiri di Desa Argodadi-Bantul, dan Sekolah Koperasi Gula Kelapa di Kec. Bagelen-Purworejo. Melanjutkan Pak Muby, kaum intelegensia
hendaknya menjadi setitik cahaya dalam gelap gulita. Mereka harus berjuang di tengah-tengah rakyat kecil Indonesia.
Demikian halnya kelas perkuliahan yang saya kelola. Sejak semester lalu, perkuliahan saya selenggarakan melalui observasi terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Hasil observasi lapang ditulis menjadi artikel pengganti ujian, yang selanjutnya diterbitkan bersama. Buku pertama berjudul “Kecil itu Hebat: Kisah Nyata Perjuangan Ekonomi Rakyat”, saya tulis bersama 40 mahasiswa.
Saat ini pun saya mengelola empat mata kuliah dengan metode serupa. Kuliah yang tidak lagi berkuta di kelas dan statistika. Melanjutkan Pak Muby, maka tak kurang lebih dari 100 mahasiswa saya saat ini sedang melakukan observasi ekonomi dan koperasi rakyat di pesisir, pelosok desa, pegunungan, kampung-kampung, dan medan juang rakyat kebanyakan lain di Yogyakarta dan sekitarnya.
Insya Allah empat buku kerakyatan karya bersama mahasiswa akan terbit dua bulan ke depannya. Seperti yang Pak Muby percaya, intelektualitas dibuktikan dengan karya. Mahasiswa tanpa tulisan sepertihalnya tentara tanpa senjata. Untuk apa? Sekali lagi, melanjutkan Pak Muby, menghapus penjajahan ekonomi, maka mestilah diubah pendidikan ekonomi kita.
***
Tak terasa sudah sejauh ini tulisan saya. Yah, tulisan yang bagi saya begitu istimewa. Beberapa hari yang lalu ketika saya terpikir untuk menuliskannya, disaat memulai yang keluar hanyalah air mata. Tak apalah, air mata adalah pelumas perjuangan kita. Agar revolusi tidak pernah berhenti, dan agar perubahan selalu menjadi pekerjaan harian kita.
Bagi yang terbiasa membaca tulisan dan mendengar pembicaraan saya kiranya akan bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Yah. tulisan ini hanya ingin mengungkapkan kepada siapa saja, bahwa pergerakan kita tidak dilandasi ideologi dan akal semata, melainkan juga didasari oleh hati dan cinta.
Mengenang Pak Muby adalah melanjutkan Pak Muby. Tanpa itu, untuk apa?
Dan saya mencari kembali tulisan yang saya buat beberapa hari setelah Pak Muby tiada. Disimpannya di mana saya masih lupa. Tetapi yang pasti saya ingat judulnya, “Maju Terus Ekonomi Pancasila!”.
Kini sewindu telah berlalu meski Pak Muby tak pernah menjadi masa lalu. Segala pujian dan kenangan tak banyak berarti seandainya kita tak lagi sungguh-sungguh melanjutkannya. Setelah jatuh bangun dengan Sekolah Ekonomi Rakyat, Koperasi Ekora, Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), dan Perguruan Tinggi Desa (PTDes) yang terhenti di tengah jalan, kini mulai muncul pertanda bahagia.
Bersama kolega di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM saat ini saya merintis Sekolah Pasar, yang menghimpun hingga 100 anak muda dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Gerakan mengajar di Pasar Kranggan-Yogyakarta, Pasar Grabag-Purworejo, dan Pasar Cokrokembang-Klaten ini telah berlangsung sejak setahun yang lalu dengan dukungan pula dari Kementerian Perdagangan Indonesia.
Sebelumnya pun, setahun lebih saya dan kolega berkeliling dari desa ke desa di Sleman, Bantul, dan Kulon Progo untuk merintis DesaMart, ikhtiar kampanye produk desa. Saat ini DesaMart dikelola oleh para sarjana muda dan mahasiswa. Melanjutkan Pak Muby, maka membangun kemandirian desa adalah jalan untuk mengubah Indonesia.
Dan mulai sebulan yang lalu, bersama mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta saya merintis Sekolah Perubahan, Sekolah Desa Mandiri di Desa Argodadi-Bantul, dan Sekolah Koperasi Gula Kelapa di Kec. Bagelen-Purworejo. Melanjutkan Pak Muby, kaum intelegensia
hendaknya menjadi setitik cahaya dalam gelap gulita. Mereka harus berjuang di tengah-tengah rakyat kecil Indonesia.
Demikian halnya kelas perkuliahan yang saya kelola. Sejak semester lalu, perkuliahan saya selenggarakan melalui observasi terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Hasil observasi lapang ditulis menjadi artikel pengganti ujian, yang selanjutnya diterbitkan bersama. Buku pertama berjudul “Kecil itu Hebat: Kisah Nyata Perjuangan Ekonomi Rakyat”, saya tulis bersama 40 mahasiswa.
Saat ini pun saya mengelola empat mata kuliah dengan metode serupa. Kuliah yang tidak lagi berkuta di kelas dan statistika. Melanjutkan Pak Muby, maka tak kurang lebih dari 100 mahasiswa saya saat ini sedang melakukan observasi ekonomi dan koperasi rakyat di pesisir, pelosok desa, pegunungan, kampung-kampung, dan medan juang rakyat kebanyakan lain di Yogyakarta dan sekitarnya.
Insya Allah empat buku kerakyatan karya bersama mahasiswa akan terbit dua bulan ke depannya. Seperti yang Pak Muby percaya, intelektualitas dibuktikan dengan karya. Mahasiswa tanpa tulisan sepertihalnya tentara tanpa senjata. Untuk apa? Sekali lagi, melanjutkan Pak Muby, menghapus penjajahan ekonomi, maka mestilah diubah pendidikan ekonomi kita.
***
Tak terasa sudah sejauh ini tulisan saya. Yah, tulisan yang bagi saya begitu istimewa. Beberapa hari yang lalu ketika saya terpikir untuk menuliskannya, disaat memulai yang keluar hanyalah air mata. Tak apalah, air mata adalah pelumas perjuangan kita. Agar revolusi tidak pernah berhenti, dan agar perubahan selalu menjadi pekerjaan harian kita.
Bagi yang terbiasa membaca tulisan dan mendengar pembicaraan saya kiranya akan bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Yah. tulisan ini hanya ingin mengungkapkan kepada siapa saja, bahwa pergerakan kita tidak dilandasi ideologi dan akal semata, melainkan juga didasari oleh hati dan cinta.
Mengenang Pak Muby adalah melanjutkan Pak Muby. Tanpa itu, untuk apa?
Dan saya mencari kembali tulisan yang saya buat beberapa hari setelah Pak Muby tiada. Disimpannya di mana saya masih lupa. Tetapi yang pasti saya ingat judulnya, “Maju Terus Ekonomi Pancasila!”.
Yogyakarta, 17 Mei 2013
ph: 08161691650, web:www.ekonomikerakyatan.com,
email: satriaegalita@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar