Materi, Tugas, Artikel, Kuliah dan Umum

Blog Archive

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 19 Mei 2016

Artikel Penelitian Penarik Andong dan Pengrajin Andong


Penarik Andong dan Pengrajin Andong

Artikel Penelitian Penarik Andong dan Pengrajin Andong ini di susun bersama Aldrian Samuel Kambe mahasiswa Fakultas Manajemen. Berikut hasil observasi yang telah di lakukan, kami susun kembali.

OBSERVASI PERTAMA

Pada tanggal observasi : 25 maret 2015
Tempat atau lokasi : Jalan malioboro
Subek observasi : penarik andong
Nama : Bapak harjono
Usia : 40 tahun
Pengalaman Profesi : Bantul yogjakarta

Keluarga bapak Harjono memiliki dua anak ,anaknya yang pertama SMA,dan anaknya yang kedua SMP. Penjelasan dari bapak harjono yang kami dapat adalah : bapak harjono kehidupan sehari-hari bekerja sebagai penarik andong,dalam sehari bapak harjono biasanya mendapat pelanggan 3-4 kali di hari libur,1-2 kali di hari biasa,dan bapak harjono tak patah semangat walaupun pelanggannya hanya sedikit tetapi ia terus berusaha agar mendapatkan pelanggan yang banyak. Dia berkata menarik andong itu cape tetapi itulah pekerjaan sehari-hari walaupun tak mengenal cape,di tambah lagi panas teriknya mata hari ia terus semangat untuk mendapatkan uang,walaupun tidak banyak. Pendapatan sehari yang di dapat bapak harjono tak menentu yang penting untuk memenuhi kehidupan sehari- hari termasuk makan dan minum sehari-hari. Lalu kuda bapak harjono memiliki 3 ekor ketika kudanya yang satunya sakit bias ada kuda yang satunya. Di tambah lagi biaya perawatan kuda ketika kudanya sakit biaya perawatan kuda sekitar 40 ribu rupiah, belum lagi di tambah kudanya di beri makan. Biasanya kuda di beri makan dedek dan pohon kacang tanah ketika musim hujan, dan rumput di musim kemarau. Lalu modal bapak harjono ketika ia membeli andong senilai seharga 15,4 juta rupiah dengan rincian harga kuda senilai 15 juta rupiah dan di tambah lagi dengan kereta andong senilai seharga 400 ribu rupiah. Dan kudanya bias menarik andong pada usia 3 tahun, lalu kudanya itu sebelumnya di latih selama 4 bulan oleh bapak harjono sendiri agar kudanya bisa mengerti dan jinak pada tuannya.

Dengan melihat kedaan bapak harjono pekerjaan kehidupan sehari-hari sebagai penarik andong, maka pemerintah membantu bapak harjono dengan memberikan celana kuda, walaupun tidak banyak tetapi bapak harjono sangat berterima kasih kepada pemerintah yang membantunya. Lalu penjelasan ketika pada zaman sebelum tidak ramai di malioboro, ketika sepinya andong di malioboro pada tahun 90-an andong menjadi sepi karena banyak angkot , jadi ketika itu banyak orang yang yang lebih suka naik angkot di bandingkan naik andong, karena angkot lebih cepat di bandingkan dengan andong pada saat itu juga malioboro orang-orangnya juga tidak ramai dan situasi dan keadaannya belum begitu ramai sehingga para penarik andong banyak yang beralih profesinya.

OBSERVASI KEDUA

Tanggal Observasi : 8 April 2015
Lokasi Observasi : Desa Jetis, Kelurahan Patalan, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul
Subyek Observasi : Pengrajin Andong
Nama : Bapak Sumardi
Usia : 50 thn (Anak ke 3 dari 5 bersaudara, Generasi ke-3 pengrajin andong dari tahun 1900)
Keluarga : Memiliki 2 anak, yang pertama sudah kerja, yang kedua masih SD kelas 5

Penjelasan yang didapat:

- Harga pembuatan andong tergantung dari pemesanan, biasanya 1 andong 60 jt.
- Pak Sumardi mempelajari pembuatan andong dari ayahnya.
- Pak Sumardi dibantu keempat saudaranya dalam pembuatan andong.
- Lama pembuatan andong 4-5 bulan.
- Untuk membeli andong harus melakukan pemesanan terlebih dahulu.
- Saat dibengkel kami menemukan andong Gusti Yuda, Adik Sultan
Hamengkubowono X.
- Menurut Pak Sumardi, pemesanan andong makin menurun dari tahun ke tahun.


OBSERVASI KETIGA

Pada tanggal observasi : 18 juli 2015
Tempat atau lokasi : Jalan giwangan
Subek observasi : pajak andong
Nama : Bapak Tri Haryono
Usia : 39 tahun
Pengalaman profesi : Kepala seksi angkutan dishub

Berdasarkan data Dinas Perhubungan Kota Jogja, dari tahun ke tahun, jumlah andong yang beroperasi terus menyusut. Di tahun 2012, andong yang beroperasi sebanyak 380 unit. Angka ini terus menurun hingga awal tahun 2015 yang mencapai 320 unit. Padahal, sebelum bencana gempa 2006 lalu, jumlah andong yang aktif beroperasi di wilayah Kota Jogja masih mencapai 1.000 unit.

Dari berbagai penelitian, penyusutan jumlah andong ini berkaitan dengan banyak hal, seperti semakin kalah dengan alat transportasi modern, khususnya sepeda motor, minimnya jumlah penumpang, dan perawatan yang dibutuhkan oleh para pemilik andong. Namun dari berbagai permasalahan yang muncul, yang paling menonjol adalah faktor ekonomi. Para pemilik andong memilih menjual andong mereka kepada para pengusaha hotel atau penginapan karena tidak sanggup dengan biaya perawatan andong yang mereka rasakan cukup besar.

Dari diskusi kami dengan Pak Harjono, mengatakan bahwa biaya perawatan kuda menghabiskan 40 ribu rupiah sehari. Itupun hanya untuk perawatan kudanya. Untuk perawatan andongnya biasa dilakukan 3 bulan sekali atau ketika andong sudah dirasa memiliki masalah. Biayanyapun bervariatif. Antara 50-300 ribu rupiah. Pak Harjono juga menambahkan banyak teman sesama kusir andong beralih profesi karena telah banyak kendaraan bermotor bermunculan. Munculnya kendaraan bermotor ini dapat mengancam berkurangnya jumlah andong hingga punahnya andong di Kota Yogyakarta.

Para pemilik andong sejatinya juga khawatir, hilangnya andong asli Jogja akan berdampak pada sektor pariwisata secara umum di Kota Jogja. Para penarik andong juga merasa, selain untuk mencari penghidupan, menjalankan andong juga merupakan upaya melestarikan budaya. Dalam permasalahan ini, pemerintah, khususnya Pemprov DIY dan Pemkot Jogja sebagai pemangku kebijakan, harus segera mencari solusi, agar kekhawatiran andong bakal punah dan hilang dari Kota Jogja, tidak terjadi.

Mencoba menggali lebih dalam, kami berkunjung kedaerah bantul untuk mencari tempat pembuatan andong. Setelah perjalanan yang cukup lama, sampailah kami di rumah Pak Sumardi, pengrajin andong dari tahun 1970-an di Desa Jetis, Kelurahan Patalan, Kabupaten Bantul. Keluarga Pak Sumardi merupakan pengrajin andong dari tahun 1900-an. Dan Pak Sumardi merupakan generasi ketiga dari keluarganya sebagai pengrajin andong.

Ayah dari dua anak ini mengatakan bahwa pemesanan andong dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Meskipun Pak Sumardi tidak tahu jelas alasannya mengapa, tapi Pak Sumardi mengatakan bahwa penurunan penjualan andong ini didasari oleh banyaknya kusir andong yang beralih profesi dan malah menjual kembali andong mereka. Mendengar jawaban itupun kami bertanya kepada Pak Sumardi tentang bantuan dari pemerintah, “Adakah selama ini pemerintah turun tangan membantu Pak Sumardi?”. Pak Sumardi pun menjawab “Hanya sekali pemerintah datang ketempat ini, itupun hanya lihat-lihat. Setelah itu tidak pernah lagi.”. Mendengar jawaban Pak Sumardi kami merasa aneh. Bukankah pemerintah Jogja mengatakan bahwa andong adalah alat transportasi yang akan mereka jaga keberadaanya. Lantas mengapa pemerintah Jogja hanya sekali mendatangi tempat Pak Sumardi seorang pengrajin andong ini? Apalagi mengingat bahwa tempat pembuatan andong Pak Sumardi telah lama berdiri.

Setelah kami melakukan tanya jawab dengan Pak Sumardi, kamipun meminta izin untuk melihat-lihat tempat tinggal pengrajin andong ini. Setelah mendapat izin, kamipun langsung mencari tempat pembuatan andong dan koleksi andong buatan Pak Sumardi. Hal yang bisa kami katakan dari pengamatan kami adalah, tempat pembuatan andong Pak Sumardi sangat tradisional. Seakan-akan kami kembali ketahun 1990-an. Alat-alatnya masih sangat sederhana sekali. Pengapiannya masih menggunakan tenaga dorong atau pompa. Dan, lantainya yang masih berupa tanah yang hanya beratapkan genteng tua.

Maka kamipun tertarik dengan beberapa koleksi andong milik Pak Sumardi. Andong yang telah dicat berwarna-warni itu terlihat mengesankan meski belum dipasangkan dengan kuda. Dari penjelasan beliau ada satu andong yang beroda empat yang dititipkan adik Sri Sultan HB X, Gusti Yuda kepada beliau. Gusti Yuda mempercayakan perwatan andongnya kepada Pak Sumardi untuk beliau rawat daripada ditaruh di istana kesultanan. Suatu kebanggan oleh Pak Sumardi, yang dipercayai oleh seorang keluarga kesultanan di Jogja untuk merawat andongnya.

Setelah puas melihat-lihat tempat pembuatan andong milik Pak Sumardi, kamipun memohon izin untuk pamit. Ketika pamit, ada hal yang begitu menyentuh kami, yaitu senyuman Pak Sumardi dan kata-kata “Nanti datang lagi ya dik.” yang terlihat begitu tulus beliau sampaikan kepada kami. Kamipun berharap dan berdoa, semoga kami bisa memberikan bantuan lebih untuk melestarikan kendaraan tradisional ini.

Hari kamis itu kami berkumpul untuk mendiskusikan solusi yang bisa kami sampaikan untuk membantu melestarikan transportasi andong. Berbagai argumen dan fakta kami kumpulakan untuk menjadi bahan perbincangan. Dari celana kuda hingga rancangan pembuatan jalur alternatif bagi andong masuk jadi bahan diskusi kami. Berbagai kesimpulan kami dapatkan dalam pertemuan selama 3 jam tersebut.

Jika menurut pada berbagai akar persoalan andong tersisih akibat menjamurnya alat transportasi modern, khususnya sepeda motor, ataupun terjepit dengan alat transportasi lain seperti bus, pemerintah sudah seharusnya mengeluarkan kebijakan, seperti pemberian jalur khusus bagi andong. Jika akar persoalan pada masalah biaya operasional, pemerintah bisa memberikan sedikit subsidi bagi para pengelola. Dalam hal ini, pemerintah juga bisa menggandeng sejumlah institusi pelestari budaya maupun masyarakat umum, demi pelestarian andong.

Bagaimanapun juga, andong yang telah menjadi salah satu ikon pariwisata di Kota Yogyakarta harus tetap dipertahankan. Upaya pelestarian transportasi tradisional ini harus didukung oleh semua lapisan masyarakat. Jangan sampai, keberadaan andong hanya menjadi kisah masa lalu Kota Jogja di masa mendatang.

Terimakasih

0 komentar:

Posting Komentar