Artikel Penelitian Manisnya Gula Tak Semanis Nasib Petani
MANISNYA GULA TAK SEMANIS NASIB PETANI
Tidak ada manusia di muka bumi Indonesia yang tak menyukai yang namanya manisnya gula. Minimal, mereka pasti mengenal dan menggunakan dalam kegiatan sehari-hari. Si manis gula merupakan produk yang pasti digunakan dalam berbagai produk mulai dari kegiatan masak dan minum rumah tangga, di tempat-tempat makan hingga menjadi bagian dari produk olahan seperti permen, roti, cake dan lain sebagainya. Sepertinya, hanya si pengidap diabetes sajalah yang (seolah-olah) tak melirik manisnya gula hasil olahan tebu. Lainnya, gula jelas produk setia yang menemani dan menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Hal ini juga dapat dilihat dari angka kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gula tebu yang tak sedikit. Berdasarkan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, total kebutuhan gula nasional tahun 2014 sebesar 5,7 juta ton, terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri. Sementara itu produksi gula nasional 2,6 juta ton, sehingga pemerintah melakukan impor sebesar 3,1 juta ton (http://www.dompetdhuafa.org/post/detail/135/indonesia-mampu-mandiri- mencapai-swasembada-gula).Dalam kurun sejarah, produk gula merupakan komoditas politis. Tak lepas dari kepentingan pengusaha pada masa pemerintahan berlaku. Masa kolonialisme, pengelolaan perkebunan tebu dilakukan melalui sistem Cultuurstelsel, dimana sebagai ganti membayar pajak tanah maka penduduk harus menyediakan hasil bumi yang nilainya sama dengan sejumlah tanah itu. Hasil bumi ditentukan pemerintah kolonialisme untuk diekspor seperti yang diinginkan oleh pemerintah. Prakteknya penyediaan tanah yang menurut ketentuan adalah dengan persetujuan, namun dalam prakteknya adalah paksaan. Sama halnya dengan praktek di atas adalah bagian upah yang seharusnya diterima bagian penduduk seringkali tidak sampai kepada penduduk (Khudori, 2005). Sejarah menunjukkan bahwa melalui reformasi agraria yang mengatur redistribusi tanah dan UU kolonial tak juga membuat petani tebu makin sejahtera. Selanjutnya, tak berbeda jauh dengan pemberlakuan revolusi hijau dan liberalisasi perdagangan. Masih saja petani tebu menjadi aktor perekonomian paling bawah dan seolah-olah menjadi buruh yang tidak dihargai dengan sepantasnya. (Santosa, 2013).
Sama halnya pada masa sekarang. Pergantian kepemimpinan di Indonesia tak membuat nasib petani semakin baik. Tengok saja, kurangnya jaminan kesehjateraan bagi membuat petani ogah-ogahan menanam tebu (berdasarkan Asosiasi Gula Indonesia, luas lahan tebu nasional yang semula 470.198 hektare (2013) akan susut 4,93% menjadi 447.000 hektare). Sisi lain juga ada pabrik yang kembang kempis dengan mesin usia jompo (pabrik gula yang pada tahun 1930an berjumlah 179 namun saat sekarang hanya berjumlah 62 pabrik dengan 43 yang dikelola BUMN dan 19 yang dikelola swasta) berakibat pada rendahnya nilai rendemen yang diterima petani (Simatupang 1999).
No
|
Umur Pabrik Gula
|
Jumlah PG
|
1
|
100-184
|
40
|
2
|
50-99
|
3
|
3
|
25-49
|
14
|
4
|
<25
|
5
|
|
Jumlah
|
62
|
Kenyataan bahwa konsumen yang lebih melirik gula kemasan membuat petani tebu tak mampu bersaing dengan perkebunan swasta. Hasil wawancara dengan toko roti di Gejayan lebih memilih menggunakan gula kemasan karena kestabilan harga dan kualitas membuat produknya juga mampu terjaga kualitasnya. Sama halnya dengan wawancara dengan konsumen yang mengatakan bahwa gula kemasan lebih bagus daripada gula pasar. Beberapa kondisi diatas menjadi bukti bagaimana pemerintah kurang mampu memberikan kesehjateraan bagi petani tebu.
Mengulas secara hukum maka sebenarnya sistem tata niaga telah dinaungi oleh beberapa perundang-undangan mulai dari hilir (petani) hingga ke hulu (tata niaga gula). Secra praktek, dengan masih banyaknya permasalahan membuat celah yang merugikan petani. Untuk selanjutnya peneliti akan menguraikan payung hukum yang disediakan untuk melindungi pemerintah menjadi beberapa sasaran, yaitu:
1. Untuk perlindungan bagi petani dan pengelolaan perkebunan maka melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan mewajibkan pemerintah untuk menyusun Rencana Pembangunan Perkebunan, Rancang Bangun Perkebunan, Kebijakan di Bidang Perkebunan, Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), Pengembangan Iptek, Pembiayaan, Perlindungan Perkebunan dan Pidana.
Melalui perundang-undangan ini maka pemerintah memberikan kesempatan pelaksanaan Sistem Insentif Dana Talangan dan Bagi Hasil Margin Perdagangan Gula Petani Tebu dan Investor, dan Pengembangan Konsep dan Implementasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Sistem dana talangan merupakan mekanisme pendanaan yang melibatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), dan PG. Kemitraan ini diwujudkan dalam perjanjian kerja sama pengadaan dana talangan bagi petani dengan tujuan untuk menjaga pendapatan minimum petani tebu pada tingkat yang masih menguntungkan mereka. Namu prakteknya sistem dana talangan tersebut sebenarnya lebih bermakna sebagai “jaminan harga” oleh pihak investor sebelum gula petani dilelang secara terbuka (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, n.d)
Sistem penguatan BUMP merupakan praktek yang sangat memberikan kontribusi besar bagi petani tebu. Berkaca pada sistem BUMP di luar negeri maka kekuatan ini mendorong akan keberdayaan petani untuk ikut sebagai aktor dalam sistem perekonomian dalam tingkatan lebih tinggi. Contoh kasus adalah petani gula bit di Amerika Serikat yang membentuk asosiasi dan membeli salah satu perusahaan gula terbesar Crystal Sugar Company pada tahun 1973. Demikian pula di India, khususnya di Maharastra, pemiliknya adalah asosiasi petani. Adapun industri gula di Thailand hampir 100 persen pasokan bahan bakunya juga dipasok oleh petani yang memiliki asosiasi petani tebu Thailand. Diharapkan hal sama akan berlaku untuk petani tebu di Indonesia, yaitu memiliki posisi lebih tinggi dalam mata rantai perniagaan tebu. Lain dari itu, asosiasi petani akan memberikan kekuatan baru dengan kemampuan bernegoisasi dengan pihak-pihak terkait seperti pabrik pupuk konsumen partai besar, pengimpor; hingga meningkatkan kemampuan membela kepentingan petani secara politik baik dari tataran daerah, nasional hingga internasional.
2. Untuk perniagaan gula maka SK Menperindag No. 643 tahun 2002 tentang Tataniaga Gula, yang terus diperbarui hingga sekarang. SK ini pada intinya mengintegrasikan antara kepentingan produsen gula di dalam negeri dengan gula impor pada tingkat harga konsumen yang disepakati bersama. Dengan demikian, impor gula yang sebelumnya datang seperti air bah dapat dikendalikan dengan baik sehingga tidak lagi menjadi sumber ketidakpastian bagi pelaku ekonomi gula di dalam negeri, khususnya petani tebu (Pakpahan, n.d). Melalui undang-undang ini kemudian berhubungan dengan undang- undang lainnya, misalkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 57/2004 yang menyatakan produk gula sebagai barang yang diawasi; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 456 tentang Tata Gula Niaga Impor Gula Kasar;
Kenyataannya, tidak seluruhnya perundang-undangan ini dapat dilaksanakan. Masih terdapat adanya praktek gula rafinasi yang merembes hingga pasar lokal menyebabkan petani makin sengsara. Artinya masih ada kelemahan pemerintah melalui lembaga terkait (khususnya menteri perdagangan) untuk menjaga sistem pertataniagaan. Pada akhirnya ketika terdapat importir nakal yang melakukan kasus penyelundupan dan perembesan gula di dalam negeri yang mengganggu distribusi gula berbasis tebu belum pernah dilakukan hukuman sesuai perundang-undangan yang ada. Dalam kasus lain juga ditemukan adanya praktek pembatasan impor gula masih saja memberikan peluang munculnya penyalahgunaan wewenang dengan ditunjuknya distributor yang dikenal dengan istilah pemburu rente (rent seeker) tanpa transparansi. Akibatnya berujuang hal sama, kesengsaraan petani dengan makin rendahnya harga jual tebu.
Melalui perundang-undangan, pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian yang luar biasa kepada petani melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Sistem Dana Talangan dan Pengembangan Konsep dan Implementasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Kedua mekanisme tersebut memberikan jalan bagi petani tidak hanya memberdayakan diri dalam asosiasi petani namun juga memberikan hubungan pasti kemitraan dengan pabrik gula. Kenyataannya, saat ini petani gula masih sangat tergantung pada harga jual gula yang masih sangat dipengaruhi oleh banyak faktor perdagangan. Gula rafinasi, masuknya perkebunan swasta, oknum pengimpor, kurangnya transparansi, pabrik dengan mesin usia jompo. Di sisi lain, kepentingan masyarakat umum yang menginginkan harga beli gula terjangkau menjadi pembatasan harga pasar. Artinya pemerintah tidak bisa memberikan kesehjateraan petani tebu berdasarkan rendemen. Masih diperlukan permodelan yang tepat serta jalan panjang sehingga memenuhi tujuan dari Sistem Dana Talangan dan Pengembangan Konsep dan Implementasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.
Lain halnya dalam perundang-undangan yang mengatur tata niaga tebu. Maraknya mafia tebu sebagai bukti lemahnya pelaksanaan menjadikan “bottle neck” perlindungan pemerintah melalui perundang-undangan SK Menperindag No. 643 tahun 2002 tentang Tataniaga Gula. Dimana carut marut tata niaga gula inilah yang menjadi perhatian penting KPK ketika mengemukakan temuan mengenai adanya mafia perdagangan dalam segala bahan pokok termasuk tebu.Ketika masalah ini belum terselesaikan maka peran pemerinta dalam memberikan kesehjateraan petani masih belum dapat berjalan. Untuk itu butuh ketegasan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum pembasmian mafia gula sebagai bentuk perlindungan terhadap petani tebu. Tidak hanya dengan mekanisme tersedianya payung hukum dengan banyaknya perundang-undangan namun ketegasan untuk menerapkan hukum termasuk hukuman dengan efek jera bagi pelaku.
Sejarah telah membuktikan bagaimanapun sebuah sistem sempurna diciptakan ketika pelaksanaan cacat maka hanya menjadi sebuah konsep, yang dibicarakan untuk kemudian dilupakan. Menjadi harapan besar untuk pemerintah segera memberikan perhatian penting dalam penyelesaian mafia perdagangan serta sistem kemitraan yang tepat supaya petani tebu tak lagi masuk dalam kategori wajib dilestarikan bahkan punah dari daftar profesi masyarakat Indonesia. Jangan sampai karena keengganan pemerintah membuat masyarakat harus mengimpor gula. Bila tidak diatasi, bisa jadi ketika anak cucu kita memberikan oleh-oleh luar negerti tidak hanya barang bermerk namun (hanya) sekotak gula.
PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Pertanian Dana Talangan
Menjamin Pendapatan Petani Tebu, Bogor.
Agus Pakpahan, Aplikasi Ekonomi Institusi Dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani, Aplikasi Ekonomi Institusi dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani, Bogor
Awan Santosa, 2013, Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi dan Alternatif
Solusi, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Dewan Gula Indonesia. 2000. Hasil Perhitungan Biaya Pokok Produksi (BPP) Gula Petani Tahun 2000. Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
Khudori, 2005, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri
Gula LP3ES
Simatupang 1999, Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengembangan Industri
Gula Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi
http://www.dompetdhuafa.org/post/detail/135/indonesia-mampu-mandiri- mencapai-swasembada-gula diakses pada tanggal 26 Juni 2015.
http://www.varia.id/2015/03/20/manis-asam-asin-pergulaan-indonesia/ diakses pada tanggal 26 Juni 2015.
0 komentar:
Posting Komentar