EKONOMI KERAKYATAN; JALAN KEMAKMURAN DAN KEDAULATAN BANGSA
EKONOMI KERAKYATAN; JALAN KEMAKMURAN
DAN KEDAULATAN BANGSA
Konsep demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sudah lama dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920), Carnoy (1980), Dahl (1985), Poole (1987), dan Smith (2000)). Konsep ini bahkan sudah dipikirkan ekonom Indonesia, khususnya M. Hatta, sejak tahun 1930 yang kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Konsep ini terus dikembangkan oleh ekonom-ekonom Indonesia dengan berbagai ragam terminologi (Mubyarto (1980), Swasono (1987), Arief (2000), dan Baswir (2002).
Demokrasi ekonomi di Indonesia dipandang para pendiri bangsa sebagai cara untuk memerdekakan ekonomi bangsa. Demokrasi ekonomi merupakan bagian dari agenda reformasi sosial, yaitu mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang di mana kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
1) Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
2) Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
3) Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932).
Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep demokrasi ekonomi dijadikan sebagai alternatif solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah (Otda) banyak daerah secara eksplisit menyatakan demokrasi ekonomi sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi pembangunannya. Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan demokrasi ekonomi (Mubyarto, 1997).
Namun perkembangan pemikiran ke arah demokrasi ekonomi ini tidak diikuti perkembangan bangunan konsep, teori, dan operasionalisasi demokrasi ekonomi. Sampai saat ini belum ada suatu indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan demokrasi ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Demokrasi ekonomi masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, dan politis. Belum tersedianya model dan alat ukur ini menjadikan agenda-agenda pembangunan daerah yang berbasis demokrasi ekonomi terlalu abstrak dan tidak memiliki arah yang jelas.
Kondisi ini tidak terlepas dari bias konseptual di mana pemahaman publik terhadap demokrasi terdistorsi hanya sebatas demokrasi pada dimensi politik (demokrasi politik). Kondisi yang merupakan fenomena global ini mendorong ketimpangan perkembangan konsepsi demokrasi di dunia, terutama di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia. Saat ini terdapat setidaknya delapan Indeks Demokrasi Politik yang mengukur kebebasan politik, pemilu, partisipasi rakyat, dan fungsi lembaga negara (Ericcson & Lane, 2002). Baru tataran demokrasi politik inilah yang dikorelasikan dengan indikator sosial-ekonomi seperti pertumbuhan dan pembangunan manusia.
Korelasi tersebut dapat ditemukan pada berbagai model yang dikembangkan berdasar studi empiris di negara-negara tertentu. Model “Virtuous Triangle” melihat bahwa pembangunan manusia akan menjadi jalan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang selanjutnya akan berkorelasi positif satu sama lain (UNSFIR dalam Kuncoro, 2004). Selain itu terdapat model “Cruel Choice plus Trickle Down” yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat munculnya demokrasi dan pembangunan manusia.
Adapun model pertumbuhan endogen dan demokrasi versi Balla melihat posisi pembangunan manusia sebagai variabel paling penting dalam menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang akan menjadi prasyarat bagi berkembangnya demokrasi. Model yang agak berbeda dikembangkan oleh Balla, di mana demokrasi justru menjadi pilar kunci bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan kualitas pembangunan manusia di suatu negara.
Sementara itu, indikator spesifik yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi, HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi.
Dalam konteks Indonesia, bagaimana rumusan (konsepsi) dasar penyelenggaran ekonomi kerakyatan?
Konsepsi Dasar Ekonomi Kerakyatan
Literatur dokumen legal utama yang menjadi landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi (Ekonomi Kerakyatan) di Indonesia adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang sebelum perubahan keempat pada tahun 2002 berisi 3 ayat sebagai berikut:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, “produksi untuk semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia.
Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat sepertihalnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia.
Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.
Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Literatur legal lain yang berisi muatan spesifik perihal demokrasi ekonomi adalah Ketetapan MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam TAP MPR ini disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diselenggarakan melalui dukungan pengembangan (keberpihakan) yang jelas dan tegas pemerintah kepada pelaku ekonomi rakyat (usaha kecil, menengah, dan koperasi) tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. Wujud dukungan (keberpihakan) tersebut adalah peningkatan akses mereka terhadap SDA, tanah (lahan), dan sumber dana (modal). Di samping itu, demokrasi ekonomi bagi pekerja diselenggarakan melalui kesempatan pekerja untuk memiliki saham perusahaan.
Bagaimana realita dari cita-cita konstitusional ekonomi kerakyatan tersebut?
Terperangkap Di Jalan Ekonomi Neokolonial
Pergantian rezim pemerintahan pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti perubahan Tim Ekonomi yang masih saja sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh setiap rezim pemerintahan selalu condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.
Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya.
Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.
Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air, UU BUMN, dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.
Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007), dan tahun 2010 ini sudah mencapai Rp. 1900 Trilyun!.
Obligasi (SUN) terus saja rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri
Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan).
Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”.
Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa.
Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar.
Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia. Hingga akhir 2008, jumlah pengangguran pun masih sekitar 9 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 15,4%, jauh dari target yang ditetapkan pemerintah (8%). Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.
Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA!
Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya
Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka.
Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?
Kembali Ke Jalan Ekonomi Kerakyatan
Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2009 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah ”Jalan Baru Pendiri bangsa” yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini.
Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam konstitusi UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi.
Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.
Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam konstitusi Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
Jalan inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
Jalan baru ini perlu ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi aset strategis bangsa, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reforma agraria sejati.
Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan (massa-aksi) yang lebih intensif.
Pada posisi inilah masyarakat sipil Indonesia perlu bangkit untuk melakukan konsolidasi dan penyemaian realisasi agenda-agenda kembali ke jalan ekonomi konstitusi (ekonomi kerakyatan/demokrasi ekonomi) yang anti-neokolonialisme kepada khalayak luas. Konsolidasi basis gerakan (massa-aksi) yang didukung intelektual muda progresif inilah yang akan mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa sebagai prsyarat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
[1] Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM email: satriaegalita@yahoo.com, web: www.ekonomikerakyatan.com, hp. 0816-169-1650