Materi, Tugas, Artikel, Kuliah dan Umum

Blog Archive

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Senin, 22 Juli 2013

EKONOMI KERAKYATAN; JALAN KEMAKMURAN DAN KEDAULATAN BANGSA



EKONOMI KERAKYATAN; JALAN KEMAKMURAN
 DAN KEDAULATAN BANGSA






Cita-Cita Ekonomi Kerakyatan
Konsep demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sudah lama dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920), Carnoy (1980), Dahl (1985), Poole (1987), dan Smith (2000)). Konsep ini bahkan sudah dipikirkan ekonom Indonesia, khususnya M. Hatta, sejak tahun 1930 yang kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Konsep ini terus dikembangkan oleh ekonom-ekonom Indonesia dengan berbagai ragam terminologi (Mubyarto (1980), Swasono (1987), Arief (2000), dan Baswir (2002).
Demokrasi ekonomi di Indonesia dipandang para pendiri bangsa sebagai cara untuk memerdekakan ekonomi bangsa. Demokrasi ekonomi merupakan bagian dari agenda reformasi sosial, yaitu mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang di mana kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar:
1)            Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka.
2)            Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
3)            Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932).

            Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep demokrasi ekonomi dijadikan sebagai alternatif solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah (Otda) banyak daerah secara eksplisit menyatakan demokrasi ekonomi sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi pembangunannya. Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan demokrasi ekonomi (Mubyarto, 1997).
            Namun perkembangan pemikiran ke arah demokrasi ekonomi ini tidak diikuti perkembangan bangunan konsep, teori, dan operasionalisasi demokrasi ekonomi. Sampai saat ini belum ada suatu indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan demokrasi ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Demokrasi ekonomi masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, dan politis. Belum tersedianya model dan alat ukur ini menjadikan agenda-agenda pembangunan daerah yang berbasis demokrasi ekonomi terlalu abstrak dan tidak memiliki arah yang jelas.
Kondisi ini tidak terlepas dari bias konseptual di mana pemahaman publik terhadap demokrasi terdistorsi hanya sebatas demokrasi pada dimensi politik (demokrasi politik). Kondisi yang merupakan fenomena global ini mendorong ketimpangan perkembangan konsepsi demokrasi di dunia, terutama di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia. Saat ini terdapat setidaknya delapan Indeks Demokrasi Politik yang mengukur kebebasan politik, pemilu, partisipasi rakyat, dan fungsi lembaga negara (Ericcson & Lane, 2002). Baru tataran demokrasi politik inilah yang dikorelasikan dengan indikator sosial-ekonomi seperti pertumbuhan dan pembangunan manusia.
Korelasi tersebut dapat ditemukan pada berbagai model yang dikembangkan berdasar studi empiris di negara-negara tertentu. Model “Virtuous Triangle” melihat bahwa pembangunan manusia akan menjadi jalan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang selanjutnya akan berkorelasi positif satu sama lain (UNSFIR dalam Kuncoro, 2004). Selain itu terdapat model “Cruel Choice plus Trickle Down” yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat munculnya demokrasi dan pembangunan manusia.
Adapun model pertumbuhan endogen dan demokrasi versi Balla melihat posisi pembangunan manusia sebagai variabel paling penting dalam menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang akan menjadi prasyarat bagi berkembangnya demokrasi. Model yang agak berbeda dikembangkan oleh Balla, di mana demokrasi justru menjadi pilar kunci bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan kualitas pembangunan manusia di suatu negara.
Sementara itu, indikator spesifik yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi, HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi.
Dalam konteks Indonesia, bagaimana rumusan (konsepsi) dasar penyelenggaran ekonomi kerakyatan?

Konsepsi Dasar Ekonomi Kerakyatan
Literatur dokumen legal utama yang menjadi landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi (Ekonomi Kerakyatan) di Indonesia adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang sebelum perubahan keempat pada tahun 2002 berisi 3 ayat sebagai berikut:
1)        Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2)        Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3)        Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
      Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi.
      Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
      Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, “produksi untuk semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
      Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia.
            Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat sepertihalnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia.
            Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional.
            Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
            Literatur legal lain yang berisi muatan spesifik perihal demokrasi ekonomi adalah Ketetapan MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam TAP MPR ini disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diselenggarakan melalui dukungan pengembangan (keberpihakan) yang jelas dan tegas pemerintah kepada pelaku ekonomi rakyat (usaha kecil, menengah, dan koperasi) tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. Wujud dukungan (keberpihakan) tersebut adalah peningkatan akses mereka terhadap SDA, tanah (lahan), dan sumber dana (modal). Di samping itu, demokrasi ekonomi bagi pekerja diselenggarakan melalui kesempatan pekerja untuk memiliki saham perusahaan.
            Bagaimana realita dari cita-cita konstitusional ekonomi kerakyatan tersebut?

Terperangkap Di Jalan Ekonomi Neokolonial
            Pergantian rezim pemerintahan pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti perubahan Tim Ekonomi yang masih saja sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh setiap rezim pemerintahan selalu condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.
            Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya.            Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya.    
Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.
            Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air, UU BUMN, dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.
Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007), dan tahun 2010 ini sudah mencapai Rp. 1900 Trilyun!.
Obligasi (SUN) terus saja rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri
Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan).
Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
            Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”.
            Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa.
            Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar.
            Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
            Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia. Hingga akhir 2008, jumlah pengangguran pun masih sekitar 9 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 15,4%, jauh dari target yang ditetapkan pemerintah (8%). Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.
            Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA!
            Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel  buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
            Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi  SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
            Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya
            Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka.
            Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
            Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?

Kembali Ke Jalan Ekonomi Kerakyatan
            Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2009 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
            Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah ”Jalan Baru Pendiri bangsa” yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini.
            Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam konstitusi UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi.
            Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.
            Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam konstitusi Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.
            Jalan inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika.
            Jalan baru ini perlu ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi aset strategis bangsa, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reforma agraria sejati.
            Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan (massa-aksi) yang lebih intensif.
            Pada posisi inilah masyarakat sipil Indonesia perlu bangkit untuk melakukan konsolidasi dan penyemaian realisasi agenda-agenda kembali ke jalan ekonomi konstitusi (ekonomi kerakyatan/demokrasi ekonomi) yang anti-neokolonialisme kepada khalayak luas. Konsolidasi basis gerakan (massa-aksi) yang didukung intelektual muda progresif inilah yang akan mampu mengembalikan kedaulatan ekonomi bangsa sebagai prsyarat terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
             






[1] Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM email: satriaegalita@yahoo.com, web: www.ekonomikerakyatan.com, hp. 0816-169-1650

Ekonomi Kerakyatan - Pendahuluan "KEEK"


Ekonomi kerakyatan (Demokrasi Ekonomi) merupakan sistem perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Tujuan penyelenggaraan demokrasi ekonomi adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian, dengan sasaran pokok tersedianya lapangan kerja, pendidikan gratis (murah), pemerataan modal material, jaminan sosial bagi penduduk miskin, dan pemberdayaan serikat-serikat ekonomi (koperasi).
Penyelenggaraan ekonomi kerakyatan merupakan amanat konstitusi (normatif) yang termaktub dalam pasal 27, 28, 31, 33, dan 34 UUD 1945, dalam TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik-Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, TAP MPR No. II/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, dan TAP MPR No. II/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Realitas ekonomi yang berkembang di Indonesia masih jauh dari perwujudan amanat konstitusi. Penjualan (privatisasi) aset-aset nasional telah mengalihkan penguasaan sumber-sumber ekonomi dari negara (rakyat) ke tangan kekuasaan asing. Korporasi besar menguasai dan mengelola sumber daya strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak di berbagai daerah. Dominasi jaringan modal internasional telah memunculkan pola hubungan antar pelaku ekonomi yang tidak seimbang dan bersifat eksploitatif-sub-ordinatif.
Kenyataan di atas bertolak belakang dengan cita-cita demokratisasi ekonomi yang merupakan amanat konstitusi. Amanat tersebut khususnya terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan arahan usaha bersama (kolektif) berasaskan kekeluargaan (yang terdapat dalam bangun usaha (asas) kooperasi) sebagai mode (basis) perekonomian nasional. Di sisi lain, negara berperan dalam menguasai dan mengelola bumi, air, dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Konsekuensi logis dari kondisi obyektif dan amanat konstitusi di atas adalah perlu dilakukannya demokratisasi ekonomi, yang mengacu pada ruang lingkup permasalahan ekonomi yang ada, pada tiga level yaitu level nasional (makro), daerah (regional), dan perusahaan tempat kerja (mikro). Pada level nasional maka perlu arahan menuju demokratisasi BUMN dan pengelolaan aset-aset strategis nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan pengalihan sebagian saham BUMN kepada pekerjanya, customer, koperasi, Pemerintah Daerah, BUMD, dan investor domestik lainnya, bukan kepada shareholderasing melalui listing di pasar modal. Dengan begitu mobilisasi sumber pembiayaan (dana) domestik yang sebenarnya tersedia dan tidak menimbulkan ketergantungan terhadap shareholder asing dapat dilakukan.
Pada level daerah (regional), mengacu pada semangat otonomi daerah maka perlu upaya untuk melakukan demokratisasi BUMD dengan peningkatanshare pekerja, koperasi, customer, dan kelompok ekonomi lokal lainnya dalam kepemilikan saham BUMD dan mobilisasi sumber pembiayaan lokal. Pada level perusahaan (mikro) yang berbentuk perseroan terbatas (PT) maka dapat dilakukan demokratisasi ekonomi di tempat kerja melalui penerapan pola pembagian keuntungan (profit sharing) dan kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership). Hal ini selaras dengan salah satu fungsi serikat pekerja yang diatur dalam UU Serikat Pekerja Indonesia yaitu sebagai wadah untuk memperjuangkan kepemilikan saham perusahaan oleh pekerja.

Ekonomi Kerakyatan



Ekonomi kerakyatan (Demokrasi Ekonomi) merupakan sistem perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Tujuan penyelenggaraan demokrasi ekonomi adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian, dengan sasaran pokok tersedianya lapangan kerja, pendidikan gratis (murah), pemerataan modal material, jaminan sosial bagi penduduk miskin, dan pemberdayaan serikat-serikat ekonomi (koperasi).
Penyelenggaraan ekonomi kerakyatan merupakan amanat konstitusi (normatif) yang termaktub dalam pasal 27, 28, 31, 33, dan 34 UUD 1945, dalam TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik-Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, TAP MPR No. II/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, dan TAP MPR No. II/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. 
lebih lengkapnya Kunjungi http://ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/ atau datang langsung ke Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PUSTEK - UGM) Kantor: Komplek Bulaksumur UGM, Jl Mahoni No. B-2, Yogyakarta, 55281. Telepon/Faks: (0274) 555664, 545991, 6491055. Email address: ekonomikerakyatan@ugm.ac.id
Berikut adalah artikel dan pemikiran ekonomi kerakyatan "Awan Santosa" Team peneliti PUSTEK UGM.

Materi Artikel Ekonomi Kerakyatan  Download Via 4share Klik =>di sini<=
Materi Dimensi Demokrasi Produksi Download Via 4Share =>di sini<=
Materi Ekonomi Kerakyatan di Jogja Download Via 4share Klik =>di sini<=
Materi Ekonomi Kerakyatan di Papua Download Via 4share Klik =>di sini<=
Materi Paper Ekonomi Kerakyatan Download Via 4share Klik =>di sini<=
Materi Pt Des Download Via 4share Klik =>di sini<=
Materi Konsep Pengembangan Ekonomi Kerakyatan  =>di sini
Artikel Sekolah Pasar Rakyat  =>di sini

Semoga bermanfaat, Salam Pembelaan, Warga Kaum Papa
Bewe 33


Rabu, 03 Juli 2013

Melanjutkan Pak Muby (Mengenang Sewindu Profesor Mubyarto)



Melanjutkan Pak Muby (Mengenang Sewindu Profesor Mubyarto)
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Profesor Ekonomi Rakyat, dan Ekonom Pancasila

Oleh : Awan Santosa[1]

Ini penerbangan pertama saya. Yah, begitu istimewa karena bersama Prof Mubyarto (Pak Muby) ke seminar beliau di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Hari yang luar biasa, meski cukup pening dan mual karena berganti empat mode transportasi yang berbeda. Sampai tapal batas Kabupaten Pasir jam lima sore. Sudah terbayang air hangat dan kasur empuk hotel di pelupuk mata. Ah alangkah nikmatnya.

Sampai kemudian Pak Muby bertanya ke aparat Pemda yang menjemput kita, “Pak, di mana ya desa yang paling miskin disini?”. Pertanyaan inilah yang akhirnya membawa kita 30 km dari lokasi semula, 45 menit perjalanan ke pelosok yang berlikunya tiada tara. Meski sedikit mual mesti semangat ‘45, malu saya yang masih muda.

Dan itulah pelajaran Pak Muby. “Semakin sulit kita memperoleh data, maka ia akan semakin berharga”. Sekedar data tanpa impresi maka dalamnya akan kosong belaka. Karenanya, turun ke lapangan dan pelosok desa adalah ajaran yang sangat bermakna. Pak Muby begitu prihatin dengan jiwa-jiwa kosong anak muda, yang lebih sering dijejali statistik dan ekonometrika.

Dan dua tahun kemudian adalah kuliah yang sesungguhnya. Keluar masuk pelosok Kutai Barat, Nganjuk, Gunungkidul, dan Kulon Progo benar-benar menempa, bukan bagi akal pikiran semata, tetapi juga hati dan jiwa. Bukan saja Soekarno yang penyambung lidah rakyat Indonesia, tetapi juga Pak Muby, seorang ilmuwan yang selalu menulis hasil kunjungan lapangnya.

***
Siang itu begitu istimewa. Itulah Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM pertama, yang saya diminta Pak Muby sebagai pembicaranya. Pesertanya pun luar biasa. Ada ekonom dosen saya, mantan menteri dan pejabat di Jakarta, para senior, pemikir, dan aktivis di Yogyakarta. Dan, sungguh terbang berjuta rasanya ketika Pak Muby bilang di saat selesei paparan paper saya, “Bagus…”.

Setiap teringat ini saya tak kuasa membendung air mata. Seminar itu ternyata bukan saja pertama bagi saya, tetapi juga terakhir bersama Pak Muby, guru saya. Seminar itu di bulan Mei 2005, beberapa hari sebelum Pak Muby meninggalkan kita. Kepercayaan kepada yang muda, tidak pernah berhenti mengajarinya. Inilah ajaran Pak Muby yang kian sulit diganti siapapun juga.

Ahh, sampai hati kita menyia-nyiakan warisannya yang begitu berharga. 3 tahun Seminar Bulanan yang tak pernah putus, sungguh luar biasa. Menulis paper dan diskusi dengan sangat bergairah, itulah sejatinya kaum intelegensia. Seperti apapun respon diskusi anak-anak muda didikannya, Pak Muby selalu menjawab dengan antusiasme yang tiada terkira.
***
Hari itu lain dari biasanya. Kuliah Ekstra Ekonomi Pancasila (KEEP) sudah memasuki bulan ketiga. Pagi itu, 20 Mei 2005 Pak Muby akan tampil lagi sebagai pembicaranya. Entah kenapa, saya merasa hari itu Pak Muby tak akan bisa menjadi pembicara. Dan benar saja, setelah beberapa saat menunggu beliau tidak hadir. Saya pun menggantikannya bicara, soal nasionalisme ekonomi Indonesia.

Selang tak berapa lama ada kabar bahwa Pak Muby terkena serangan jantung di pagi harinya. Dalam waktu segera beliau dirawat di RS Sarjito Yogyakarta. Dengan perasaan tak menentu, saya melanjutkan pembicaraan di kelas ekstra. Sampai tengah hari datang berita dari RS Pak Muby berpesan kepada kita semua, peserta kuliah ekstra.

Pak Muby meminta kita membaca beberapa judul buku yang relevan dengan topik kuliah ekstra. Sungguh ini membuat kita semua terhenyak tak percaya. Baru beberapa saat terlepas dari kejadian yang dapat mengancam jiwanya dan beliau langsung ingat soal kuliah ekstra. Kata berhenti dan lupa kiranya sudah terhapus dari kamus hidup Pak Muby.

Dan tak disangka 24 Mei 2005 Pak Muby berpulang selamanya. Sungguh kehilangan seorang Bapak dan Guru yang tak terperi rasa sedihnya. Pejuang yang selalu konsisten di garis pemikiran dan keyakinannya. Sebagai murid mula-mula, di ICU Sardjito saya hanya bisa bertanya dalam linangan air mata, “Siapa lagi yang akan membela saya?”.

***

Beberapa bulan sebelum meninggal Pak Muby dikabarkan menjadi kandidat rektor Universitas Wangsa Manggala (sekarang UMB Yogyakarta). Keadaan berubah ketika terjadi “insiden” disaat Pak Muby berbicara dalam seminar disana. Beliau sangat terpukul dan kecewa. Bukan kebetulan, saya diterima menjadi dosen negeri dpk dan ditempatkan di Universitas Wangsa Manggala.

Kini sewindu telah berlalu meski Pak Muby tak pernah menjadi masa lalu. Segala pujian dan kenangan tak banyak berarti seandainya kita tak lagi sungguh-sungguh melanjutkannya. Setelah jatuh bangun dengan Sekolah Ekonomi Rakyat, Koperasi Ekora, Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), dan Perguruan Tinggi Desa (PTDes) yang terhenti di tengah jalan, kini mulai muncul pertanda bahagia.

Bersama kolega di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM saat ini saya merintis Sekolah Pasar, yang menghimpun hingga 100 anak muda dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Gerakan mengajar di Pasar Kranggan-Yogyakarta, Pasar Grabag-Purworejo, dan Pasar Cokrokembang-Klaten ini telah berlangsung sejak setahun yang lalu dengan dukungan pula dari Kementerian Perdagangan Indonesia.

Sebelumnya pun, setahun lebih saya dan kolega berkeliling dari desa ke desa di Sleman, Bantul, dan Kulon Progo untuk merintis DesaMart, ikhtiar kampanye produk desa. Saat ini DesaMart dikelola oleh para sarjana muda dan mahasiswa. Melanjutkan Pak Muby, maka membangun kemandirian desa adalah jalan untuk mengubah Indonesia.

Dan mulai sebulan yang lalu, bersama mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta saya merintis Sekolah Perubahan, Sekolah Desa Mandiri di Desa Argodadi-Bantul, dan Sekolah Koperasi Gula Kelapa di Kec. Bagelen-Purworejo. Melanjutkan Pak Muby, kaum intelegensia

hendaknya menjadi setitik cahaya dalam gelap gulita. Mereka harus berjuang di tengah-tengah rakyat kecil Indonesia.

Demikian halnya kelas perkuliahan yang saya kelola. Sejak semester lalu, perkuliahan saya selenggarakan melalui observasi terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Hasil observasi lapang ditulis menjadi artikel pengganti ujian, yang selanjutnya diterbitkan bersama. Buku pertama berjudul “Kecil itu Hebat: Kisah Nyata Perjuangan Ekonomi Rakyat”, saya tulis bersama 40 mahasiswa.

Saat ini pun saya mengelola empat mata kuliah dengan metode serupa. Kuliah yang tidak lagi berkuta di kelas dan statistika. Melanjutkan Pak Muby, maka tak kurang lebih dari 100 mahasiswa saya saat ini sedang melakukan observasi ekonomi dan koperasi rakyat di pesisir, pelosok desa, pegunungan, kampung-kampung, dan medan juang rakyat kebanyakan lain di Yogyakarta dan sekitarnya.

Insya Allah empat buku kerakyatan karya bersama mahasiswa akan terbit dua bulan ke depannya. Seperti yang Pak Muby percaya, intelektualitas dibuktikan dengan karya. Mahasiswa tanpa tulisan sepertihalnya tentara tanpa senjata. Untuk apa? Sekali lagi, melanjutkan Pak Muby, menghapus penjajahan ekonomi, maka mestilah diubah pendidikan ekonomi kita.

***

Tak terasa sudah sejauh ini tulisan saya. Yah, tulisan yang bagi saya begitu istimewa. Beberapa hari yang lalu ketika saya terpikir untuk menuliskannya, disaat memulai yang keluar hanyalah air mata. Tak apalah, air mata adalah pelumas perjuangan kita. Agar revolusi tidak pernah berhenti, dan agar perubahan selalu menjadi pekerjaan harian kita.

Bagi yang terbiasa membaca tulisan dan mendengar pembicaraan saya kiranya akan bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Yah. tulisan ini hanya ingin mengungkapkan kepada siapa saja, bahwa pergerakan kita tidak dilandasi ideologi dan akal semata, melainkan juga didasari oleh hati dan cinta.

Mengenang Pak Muby adalah melanjutkan Pak Muby. Tanpa itu, untuk apa?
Dan saya mencari kembali tulisan yang saya buat beberapa hari setelah Pak Muby tiada. Disimpannya di mana saya masih lupa. Tetapi yang pasti saya ingat judulnya, “Maju Terus Ekonomi Pancasila!”.

Yogyakarta, 17 Mei 2013


[1] Dosen negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Peneliti | Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM | Ketua Bidang Diklat Mubyarto Institute, dan Pendiri Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), Direktur Iptek bagi Kewirausahaan

ph: 08161691650, web:www.ekonomikerakyatan.com,

email: satriaegalita@yahoo.com

Pakar Ekonomi Kerakyatan Indonesia



Profil singkat | Pakar Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Prof. Dr. Mubyarto (3 September 1938-24 Mei 2005) adalah pakar ekonomi kerakyatan Indonesia yang mengajar di Universitas Gadjah Mada dan dikenal sebagai penggagas konsep Ekonomi Pancasila.

Pendidikan
Mubyarto lahir di Sleman, Yogyakarta. Masa kecilnya hingga sarjana muda dihabiskan di Yogyakarta. Selepas dari UGM, Mubyarto melanjutkan pendidikan dan memperoleh gelar Master of Arts dari Vanderbilt University, Tennessee di tahun 1962 dan gelar Doctor of Philosophy dari Iowa State University, Iowa di tahun 1965, keduanya di Amerika Serikat. Gelar Doktor diraihnya dalam usia 27 tahun dengan mempertahankan disertasi berjudul Elastisitas Surplus Beras yang Dapat Dipasarkan di Jawa-Madura.

KarirProfesi utamanya adalah dosen di Fakultas Ekonomi UGM (1959-2003). Salah satu jabatan penting di dalam karirnya bersama UGM adalah pada saat menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM tahun 1983-1994. Selama dipimpin oleh Mubyarto, P3PK secara intensif melakukan berbagai penelitian di bidang pembangunan perdesaan dan kawasan dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kemudian pada periode tahun 1987-1999, ia menjadi anggota MPR. Sejak tahun 2002, dia adalah Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM sampai kemudian meninggal pada tahun 2005. Pustep didirikan oleh UGM dibawah pimpinan Rektor Sofyan Effendi, untuk mendalami dan mengembangkan konsep Ekonomi Pancasila yang telah ramai menjadi bahan diskusi utama ekonomi Indonesia sejak tahun 1980. Sebagai birokrat, Mubyarto pernah menjabat sebagai Penasehat Menteri Perdagangan pada tahun 1968-1971, Asisten MenteriPerencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 1993-1998, dan Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri 1997-1998.

Pemikiran
Dalam buku Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, konsep Ekonomi Pancasila yang dikembangkan Mubyarto sempat ditertawakan sejumlah kalangan. Konsepnya yang sangat normatif dinilai sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia meskipun dikembangkan dari dasar negara Indonesia Pancasila. Satu hal yang selalu disampaikan Mubyarto untuk menjawab kesalahpahaman yang telah terlanjur menjadi pemahaman umum adalah bahwa dia bukan penemu Ekonomi Pancasila. Dia hanya mengembangkan lebih lanjut konsep Ekonomi Pancasila setelah idenya didengungkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, dan untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Emil Salim. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah salah satu program pemerintah yang diluncurkan Mubyarto pada tahun 1993 pada saat menjabat sebagai Asisten Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, yaitu menghibahkan dana pemerintah kepada kelompok masyarakat miskin untuk dikelola langsung oleh masyarakat secara musyawarah dengan menggunakan konsep dana bergulir. Program IDT ini adalah hasil pemikiran Mubyarto bersama dengan koleganya, misalnya yang tergabung di dalam Yayasan Agro Ekonomika (YAE) seperti sosiolog pedesaan IPB Sayogyo dan Direktur LSM Bina Swadaya Bambang Ismawan. Program IDT sebagai program pengentasan kemiskinan telah berhenti, namun konsep hibah dana bergulir yang dikembangkan oleh Mubyarto dkk sampai sekarang masih digunakan dalam bentuk program-program lain di berbagai sektor pembangunan di Indonesia.

Kehidupan pribadi
Pada saat meninggal di tahun 2005, Mubyarto meninggalkan seorang istri, Sri Hartati Widayati, dan empat orang anak Andianto Hidayat, Tantiarini Hidayati, Satriyantono Hidayat, dan Dadit Gunarwanto Hidayat, serta sejumlah cucu. Pada tahun yang sama, Mubyarto telah menyelesaikan tugas utamanya dan memasuki masa pensiun sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.



*** Sumber :http://mubyarto.org/_profil.php

Menuju Masyarakat Neolibera




Berbicara Neoliberal, tentu berbicara sebuah konsep ekonomi yang merupakan bentuk baru dari madzhab ekonomi pasar liberal. Yang mana system ini sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme. Dimana system ekonomi neo-liberal dapat berjalan dengan bantuan roda kebijakan-kebijan pemerintah, maka dibutuhkan pengemasan paket kebijakan ini dalam bentuk paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). 
Dirasakan atau tidak, secara berlahan dan pasti budaya liberal atau Neoliberal yang menuhankan kebebasan individu dan kebebasan pasar semakin menjadi iman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Kondisi dimana sebuah tatanan ekonomi tidak lagi merujuk pada konsep kerjasama sempurna namun lebih berkiblat kepada persaingan sempurna sudah semakin jelas ini merupakan indikasi-indikasi bahwa masyarakat sebagai pelaku ekonomi telah meninggalkan konsep ekonomi kerakyatan dan bermigrasi pada ekonomi neo liberal. Keadaan dengan iklim ekonomi seperti ini tentu sangat berbahaya, secara berlahan menjadikan sebuah tatanan perekonomian sebuah bangsa dengan tidak dilandasi keyakinan idiologi bangsa itu sendiri.

Paham neoliberal yang merupakan bentuk baru dari leberalisme yang menekankan sebuah kebebasan individualisme yang tidak dapat di batasi baik oleh lembaga maupun pemerintah suatu negara. Yang melahirkan kebebasan atas kepemilikan aset ekonomi, penumpukan pundi-pundi kepemilikan sumber daya alam yang tidak dapat di kontrol dan tidak lagi menjadi perhatian pemerintah. Ini sungguh berbahaya, mengapa? karena tidaklah ada pengekangan dalam paham ini, jikapun ada tentu konflik yang akan di suguhkan. Dan yang menyedihkan tidaklah warga negara Indonesia yang menguasai aset-aset ekonomi perut bumi pertiwi ini walaupun mereka berkiblat kepada neo liberal, namun justru asing yang berkuasa.

Masyarakat hanya mengikuti sistem, termakan konsep, sedang penerapan penguasaan hanya segelintir orang dan asing pula. Masyarakat hanya menjadi korban dari sytem, menjadi korban dari kebijakan pemimpin negeri ini, menjdi korban dari kerakusan yang meatasnamakan globalisasi. Paham liberal sebagai pendahulu neoliberal membentuk sebuah tatanan masyarakat sekularisme dimana kegiatan keagamaan menjadi barang asing yang diasingkan pula. Dan kemudian yang timbul adalah sebuah agama baru “hedonis” dimana materi dan kesenangan jasmani adalah yang diutamakan. Setiap individu saling berlomba menguras kekayaan alam isi perut bumi tanpa melihat lagi darah juang yang pernah tertumpah, kesenjangan sosial ekonomi tidak lagi menjadi perhatian, justru semakin terbentuk.

Jika konsep liberal dan neoliberal yang melanda masyarakat kita, walau saat ini dalam sekala kecil dan sekedar dalam perasukan pola pikir, namun jika di diamkan tentu akan menjadi sebuah masalah besar dikemudian hari. Dan siapa yang bertanggung jawab atas masuknya konsep neoliberal ke bumi darah juang ini tentulah pemerintah, dan sudah pasti menjadi bagian yang harus bertanggung jawab, karena segala bentuk paham yang masuk segala bentuk system yang berkembang adalah berdasarkan karbulator kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk menghianati amanat konstitusi dan mengibarkan bendera penjajahan modern.

Desain pembangunan ekonomi di Indonesai sampai sekarang masih menggunakan madzhab ekonomi liberaldan neo liberal, Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.

Tentu tidak mudah untuk kembali mengimani pancasila dan uu 1945, untuk kembali menjadi Indonesia, namun akan lebih tidak mudah jika paham-paham yang tidak seharusnya menjadi panutan anak cucu kita terus disuguhkan. Kemerdekaan ekonomi milik seluruh rakyat indonesia, bukan perorangan, bukan golongan. Bukan kebebasan merampok perut bumi yang diamanatkan pendiri bangsa, namun persatuan, kesatuan dan kerjasama untuk mengelolanya.

Ayo Bangun Perguruan Tinggi Desa (PTDes)




Perjalanan riset saya di desa-desa Indonesia menemukan masalah mendasar berupa lemahnya penguasaan rakyat desa atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah ini telah lama berimplikasi pada kelambatan inovasi bisnis, kecilnya nilai tambah ekonomi, dan ketergantungan desa pada perantara dari luar desa, pun termasuk perguruan tinggi dan LSM. Keberdikarian dan keahlian orang desa yang dahulu pernah mewujud telah memudar dan berganti oleh dominasi korporasi swasta besar dari luar desa.

Ribuan fakultas di perguruan tinggi se-Indonesia kiranya belum sepenuhnya mampu menjawab akar persoalan ekonomi rakyat desa tersebut. Sedikitnya kisah sukses desa mandiri seakan menjadi pertanda pendidikan tinggi kita yang belum sepenuhnya berorientasi pada keberdikarian desa. Alih-alih itu, jiwa keberdikarian perguruan tinggi justru masih menjadi tanda tanya manakala terjadi penetrasi institusional Bank Dunia dan Pemerintah AS di beberapa perguruan tinggi kita.

Banyak anak-anak muda desa yang telah dididik di perguruan tinggi kita tetapi sebagai besar justru menjadi lupa dengan jatidiri dan tugas mulianya untuk kembali membangun desa. Sebagian mereka bahkan lebih bangga berdasi meski hanya untuk sekedar menjadi buruh korporasi dari luar negeri. Pun sebagian lagi telanjur tercerabut dari akar mereka di desa, namun tak juga mendapat tempat di pasar tenaga kerja, sehingga menambah panjang deret pengangguran terdidik di negeri ini.

Pendidikan kita tak kunjung mampu merombak pola relasi yang timpang antara desa dan kota. Desa dengan segala kekayaannya masih menjadi pemasok yang setia bagi kemakmuran masyarakat kota dengan kontraprestasi yang tidak sepantasnya. Telah begitu banyak hutan dan kebun yang ditumbuhkan, pun tak terhitung lagi jutaan ton aneka mineral dan tambang yang dikeruk dari desa, sementara mayoritas penduduk miskin masih tertinggal di desa, dan marjinalisasi terus terjadi di sana.

Melihat berbagai situasi ini kiranya kita perlu berhitung ulang atas peran perguruan tinggi atas kemajuan desa. Pola relasi yang selama ini terbangun di mana prakarsa transfer iptek selalu datang dari luar desa perlu ditinjau ulang dengan semangat tranformasi kuasa pengetahuan oleh rakyat desa. Efektifitas proses tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan penguasaan metodologi pengembangan iptek oleh mereka, di mana mereka lah yang akan merancang tata kelola pengetahuan dan pembangunan di wilayah desa.

Berlatar belakang itulah saya membayangkan model pendidikan alternatif yang saya sebut dengan “Perguruan Tinggi Desa (PTDes)”, yang selanjutnya dapat diberi nama secara khusus semisal Sekolah Tinggi Sriharjo (Sriharjo College), Argosari Cllege, dan sebagainya. Dalam PTDes maka rancang bangun pendidikan yang berbasis kemakmuran dan keberdikarian desa dilakukan secara kolektif oleh masyarakat desa.

Pun semua keahlian yang diperlukan untuk membangun desa disedikan oleh PTDes yang akan mendisain kurikulum, merekrut tenaga pengajar dari dalam dan luar desa, serta menyelenggarakan bermacam pendidikan dan pelatihan aplikasi iptek yang diperlukan seluruh warga desa. PTDes ini kiranya sejalan dengan perluasan peran desa yang menjadi semangat RUU Desa yang akan segera disahkan oleh Pemerintah dan DPR.

PTDes inilah yang akan merebut kuasa iptek yang selama ini didominasi oleh elit-elit akademisi di pusat kota bahkan di luar negara. Ialah juga akan mampu melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif desa yang memiliki keahlian spesifik semisal di bidang teknik, usaha, sosial-politik, hukum, dan kesehatan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kemajuan dan keberdikarian masyarakat desa. Tugas mulia mereka adalah memobilisasi penggunaan potensi sumber daya domestik desa dengan penguasaan iptek mereka.

PTDes akan menjadi media revolusi kebudayaan (kesadaran) dan persemaian keahlian warga desa, semisal dalam inovasi energi berbasis tenaga surya, mikro-hidro, sampah, dan kotoran ternak. Pun ia akan menjadi inkubator pemikiran dan perencanaan tumbuh kembangnya bisnis koperasi, ekonomi rakyat desa, trading house, klinik kesehatan, keuangan mikro, wisata desa, industri rumah tangga dan industri desa, serta berbagai inovasi berbasis iptek lainnya.

Model seperti ini telah berhasil dilakukan di India oleh Bunker Roy dengan Bare-foot College-nya yang sudah membuat warga desa mampu menguasai energi berbasis tenaga surya. Bare-foot college juga telah mendidik warga desa untuk memiliki keahlian professional sepertihalnya teknisi, guru, akuntan, dan sebagainya, seperti yang biasa dilakukan lembaga pendidikan formal di kota-kota besar. Lebih dari itu Roy telah mengenalkan model Sekolah Malam (Night School) bagi anak-anak desa yang karena keterbatasan keluarga harus bekerja di siang hari.

PTDes yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa akan menjadi konsultan bagi rencana pembangunan desa dan berbagai program (project) yang masuk ke desa. Ialah yang akan membantu mengarahkan proses transformasi desa melalui rancang bangun pemajuan dan pemandirian desa selama kurun waktu 5-10 tahun depan. Pada akhirnya melalui PTDes lah masyarakat desa sanggup dengan penuh wibawa mengucapkan selamat tinggal pada Bank Dunia. Cukup sudah utang-utang lunak yang harus dikompensasi mahal dengan terkurasnya kekayaan alam Indonesia.

Pada awalnya disain PTDes dirancang se-sederhana mungkin dengan mempertimbangkan kapasitas sumber daya desa. Pendanaan dapat dilakukan melalui dukungan APBDes, dana pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM nasional. Dalam pelaksanaan programnya maka PTDes dapat berkerjama dengan berbagai perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, Dinas Pendidikan, dan LSM, tentu dengan perencaan kolektif yang didasarkan pada kebutuhan dan rencana kerja PTDes.

Dalam pada itu, sesuai dengan tuntutan perubahan peran perguruan tinggi di atas, maka tugas mulia kita adalah melembagakan pendidikan alternatif tersebut melalui fasilitasi pendirian PTDes. Perguruan tinggi lah yang akan mengajari calon-calon pengelola PTDes bagaimana mendisain kurikulum, metode pembelajaran, rekruitmen ahli, dan proses penyelenggaran pendidikan dan pelatihan sampai pada kebutuhan-kebutuhan detail dan operasional.

Saya sangat memimpikan keberadaan PTDes ini dan akan berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya. Sampai saat ini saya banyak daerah dan kota yang saya datangi untuk berbicara tentang ekonomi kerakyatan dan keberdikarian ekonomi desa. Sayangnya kebanyakan undangan tersebut berasal dari pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM, bahkan mungkin tak pernah sekali pun yang berasal dari organisasi rakyat desa, mereka yang selama ini rajin dan rutin kita diskusikan.

Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri. PTDes yang memberi kesempatan dan kemampuan masyarakat desa untuk mengelola pengetahuan secara mandiri adalah salah satu alternatif untuk itu. Sungguh saya sangat memimpikan kelak banyak undangan mengajar, seminar, pelatihan, dan diskusi dari organisasi rakyat desa seperti PTDes. Pada saat itulah pertanda sinar kebangkitan kembali rakyat desa Indonesia mulai terpancar dan harapan mereka untuk menjadi tuan di desa sendiri akan segera menjadi kenyataan. Semoga.

[1] Dosen negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Peneliti | Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM | Ketua Bidang Diklat Mubyarto Institute, dan Pendiri Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), Direktur Iptek bagi Kewirausahaan
ph: 08161691650, web:www.ekonomikerakyatan.com,
email: satriaegalita@yahoo.com

Ekonomiku..?


| Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana
| Program Study Ekonomi Manajemen 2011

Ekonomiku..?

Indonesia tidak kalah kreativnya dengan negara-negara tetangga, terutama dalam bidang kewirausahaan. Sepertihalnya banyak ide-ide baru, contohnya saja motor buatan asli indonesia yang memang saat ini kebanyakan mereka menyebutnya motor butut, namun dengan kekreativan para bangsa ini mereka bisa menjadikan seperti rumah-rumahan dan banyak yang lainnya termasuk siswa SMK Solo mereka dapat membuat mobil sendiri. Namun kenapa kekreativan oleh anak bangsa ini banyak mereka yang belum bisa menghargai, banyak mereka yang hidupnya terpandang namun mereka lebih memilih karya bangsa lain dibandingkan memilih karya bangsa sendiri.

Sehingga hal ini mengakibatkan bangsa semakin melemah, Indonesia harus bangga karena masih memiliki para pengkreatif yang tetap setia untuk selalu berkarya, meskipun banyak yang tidak menghargai tetapi hal inilah yang mampu membawa nama baik bangsa ini. Sepertihalnya pepatah kuno mengatakan hormatilah orang lain jika kamu ingin dihormati orang lain, pernyataan ini bisa diartikan hormati karya dari seseorang apalagi bangsa sendiri, jika kamu ingin dihormati orang lain termasuk bangsa sendiri.

Dengan keadaan konsumen yang seperti ini membuat para pengkreatif cenderung turun pada tahun ini, hal ini bisa disebabkan karena mereka sudah lelah dengan jerih payah mereka untuk bangsa ini namun bangsa ini sendiri tidak bisa menghargai. Namun saya tekankan untuk para pengkreatif bangsa ini supaya janganlah menyerah untuk selalu tetap berkarya dan berinisiatif, karena sebenarnya orang seperti kalianlah yang dibutuhkan untuk memajukan perekonomian di Indonesia ini.

Ini adalah langkah pertama tidak akan ada langkah kedua, ketiga dan seterusnya tanpa ada langakah pertama jangan mengharap ekonomi bangsa ini mencapai garis finish. Janganlah hidup seperti air yang mengalir, karena kenapa? Karena air selalu mengalirdari tempat tinggi ketempat yang lebih rendah dan apakah hidup semakin hari akan semakin rendah? Begitupun dengan perekonomian di Indonesia apakah semakin hari semakin melemah, maka milikilah tujuan yang tinggi dan cobalah untuk meraihnya. Memang benar semua sudah ditentukan oleh Allah, tapi bukankah Allah lebih menyukai hambanya yang selalu berusaha lebih maksimal, maka dari itu mulai sekarang cari apa yang mampu men-drive diri kita dan ciptakanlah kesempatan.

Jangan menunggu let’s make it happen, seharusnya pemerintah sadar akan hal demikkian apakah ekonomi di Indonesia ini akan semakin maju apabila mereka sealu menambah linknya untuk selalu bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan banyak fakta yang memang benar-benar terjadi di Indonesia ini ketika SDM yang berpotensi di negara sendiri namun oleh bangsa sendiri mereka tidak dibutuhkan, sebaliknya untuk negara lain tenaga-tenaga seperti itulah yang mereka butuhkan lebih dari 5juta penduduk Indonesia yang setiap tahunnya selalu dikirimkan untuk menjadi tenaga kerja negara lain.

Pokok permasalahan tersebut sebagaimana dikemukakan dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Dalam pasal tersebut yang dimaksudkan adalah setiap anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Sepertihalnya yang di kemukakan oleh Bung Hatta dalam pasal 33 UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi “Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Pada garis bawah tersebut yang dimaksud barangkali adalah diserahkan kepada badan-badan lain yang dikelola secara otonom-perusahaan negara atau perusahaan swasta yang pekerjaanya dikendalikan oleh pemerintah. 

Kemudian dalam ayat (3) pasal 33UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat disini yang dimaksud adalh kedudukan negara sebagai penguasa bumi,air dan segalanya kekayaan yang terkandung didalamnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk meminggirkan rakyat banyak, melainkan untuk menjamin agar pemanfaatan kekayaan alam Indonesia benar-benar dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hal seperti itulah yang di kemukakan dulu oleh Bung Hatta, sungguh luar biasa apabila pasal itu dijalankan benar-benar Indonesia untuk sekarang ini. Tetapi realita berkata lain Indonesia terkenal kaya akan SDA dan banyak akan SDM, namun kenyataannya sampai saat ini Indonesia masih menjadi pemasok tebesar bahan mentah sepertihalnya migas, batubara, emas, CPO, kako dan berbagai produk mentah lainnya. Selain itu juga Indonesia masih menjadi pemasok terbesar tenaga kerja yang di upah murah bagi perusahaan atau pihak-pihak lain didalam dan diluar negri.

Memang keadaan ini sulit untuk ditangani sepertihalnya yang telah dikemukakan oleh dosen saya pak Awan Santosa,SE,M.Sc keadaan ini sepertihalnya ada sebuah tebing yang sangat tinggi dan mengalir air terjun dan dibawahnya terdapat banyak anak kecil yang terhanyut. Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut memang tidaklah mudah apabila kita terjun langsung untuk menyelamatkan maka kemungkinan besar juga kita akan ikut terhanyut, namun kita juga tidak boleh diam saja solusi yang tepat adalah mencari titik akar permasalahannya, memang tidaklah mudah melainkan tidak cukup jika hanya waktu satu bulan atau dua bulan bahkan bertahun-tahun untuk mencari titik dari permasalah tersebut banyak sekali hambatan-hambatannya seperti jurang, binatang-binatang buas dan hambatan lainnya.

Akan tetapi kita tidak boleh menyerah agar tidak akan ada lagi korban-korban lainnya. Tentunya generasi muda inilah yang masih memiliki semangat baru, sebuah gambaran dari dosen saya tadilah yang sehingga membuat saya lebih semangat lagi. Tidak ada kalimat telat yang ada hanyalah pertanyaan, have you reached your maximum potensial? And do you want to reach it?