Materi, Tugas, Artikel, Kuliah dan Umum

Blog Archive

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Senin, 30 Mei 2016

Artikel Penelitian Hubungan Petani Tebu dan Pabrik Gula


Hubungan Petani Tebu dan Pabrik Gula


Tebu atau gula merupakan salah satu komoditi strategis yang penting dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga stabilitas ketersediaan gula di pasaran dengan mencanangkan program swasembada gula yang tercantum dalam program Ketahanan Pangan Nasional. Pemerintah juga melakukan impor gula demi mencukupi kebutuhan nasional yang selalu meningkat permintaannya. Impor gula ini bak buah simalakama di kebun sendiri karena disatu sisi program ini membantu dalam mencukupi kebutuhan nasional. Namun disisi lainnya, hal ini sangat merugikan para petani tebu dan bertolak belakang dengan tujuan program swasembada gula. Selain mencanangkan program swasembada gula, Pemerintah juga mengatur sistem tata niaga gula dimana pemerintah ingin melindungi petani tebu/gula dari beredarnya gula rafinasi (gula impor).

Hubungan kerjasama antara petani tebu dengan pabrik gula ibarat simbiosis mutualisme dimana keduanya mendapatkan keuntungan dan tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan. Petani tebu dapat menjual hasil panennya kemudian digilingkan di Pabrik gula sehingga ia mendapatkan gula dan hasil lainnya yang dapat dijual kembali. Di sisi lain pabrik gula yang membeli tebu dari petani dapat melakukan proses produksinya sesuai dengan kapasitas penggilingannya. Namun, pada kenyataannya hubungan ini tidak berjalan mulus dimana petani tebu merasa dirugikan karena factor Harga Pokok Penjualan (HPP) gula yang rendah berkisar Rp 8.900,-. Harga ini sangat jauh dari harga yang telah ditentukan oleh pemerintahan di jaman orde lama yaitu 2,5 kali dari harga gabah atau sekitar Rp12.500,-. Padahal beban biaya yang dikeluarkan petani sangat tinggi seiring dengan fluktuatifnya harga BBM, harga pupuk, biaya tenaga kerja dari mulai penanaman sampai pembabatan tebu dan biaya lain-lain yang tak terduga.

Selain HPP gula yang rendah, factor ketidakjelasan tingkat rendemen juga sangat mempengaruhi hasil para petani tebu. Rendemen tebu atau tingkat kadar gula yang terkandung dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Sebagai contoh, rendemen tebu 10% maka dari 100 kg tebu akan menghasilkan 10 kg gula (natura). Rendemen tebu dari setiap daerah selalu berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa factor seperti media tanam, bibit/ varietas tebu dan juga curah hujan. Tebu yang ditanam pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi akan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kadar gulanya, sehingga akan mempengaruhi pada tingkat rendemen.

Pak Supri (47 tahun) yang bekerja sebagai mandor atau sinder di salah satu pabrik gula tebu di PG Gondang Winangun menjelaskan bahwa saat ini system kerjasama yang terjalin diantara pabrik gula dan petani tebu adalah bagi hasil. Petani tebu akan mendapatkan gula dan hasil turunan dari gula sesuai dengan ketentuan yang berlaku salah satunya adalah tingkat rendemen yang dapat
dilihat dari table dibawa ini,


Jenis

Tingkat Rendemen
Bagi Hasil
Petani
Pabrik Gula
Gula
< 6%
66%
34%
Gula
>7%
70%
30%
Gula tetes

3%
sisanya


Dari table tersebut tidak berarti petani akan mendapatkan hasil yang lebih besar dibandingkan pabrik gula karena masih diatur lagi dalam proses lelang dimana nantinya petani akan mendapatkan 90% dari 66% gula produksi jika tingkat rendemen tebu yang dimilikinya kurang dari atau sama dengan 6%. Gula tetes hanya diberikan kepada petani sebesar 3% atau 3 kg untuk setiap 100 kg. Gula tetes atau tetes tebu ini dapat digunakan untuk alcohol, spritus dan juga bioethanol yang saat ini sedang dikembangkan.

Petani dibedakan menjadi beberapa yaitu, petani kontrak yang lahannya disewa oleh PG atau petani yang bekerja untuk dilahan milik PG, petani lepas dimana petani ini dapat menjual bebas tebu hasil panennya, asal mendapatkan hasil rendemen yang lebih tinggi. Petani yang menjalin kerjasama dengan PG harus menjalani proses penandatangan MOU, dimana nantinya petani tebu hanya dapat menjual tebu miliknya pada PG kemitraan.

Sebagai seorang sinder yang memiliki tanggung jawab untuk menjalin kerjasama dengan petani tebu agar pada saat produksi (penggilingan) PG tidak kekurangan kapasitas bahan baku, terkadang PG harus membeli tebu dari petani lepas yang kebanyakan berasal dari luar Klaten misalnya daerah Sragen karena pasokan di daerah belum mencukupi kapasitas produksi. Hal ini dapat terjadi karena factor dari tebu dilahan milik PG atau petani kemitraan yang belum matang sehingga belum siap dipanen. Tak jarang, ketika musim penggilingan tebu menjadi rebutan dengan PG lainnya sehingga membuat harga tebu menjadi naik dari harga wajarnya. Sinder juga harus memastikan bahwa petani kemitraan mematuhi aturan kontrak yang telah disepakati karena tidak jarang adanya petani yang nakal seperti mendapatkan fasilitas pinjaman atau pupuk dari PG kemitraan kemudian menjual hasil tebunya pada PG lainnya.

Oleh karena itu, PG saat ini hanya memberikan fasilitas kepada petani tebu kemitraan hanya sebatas pemberian fasilitas pinjaman dana/ modal untuk menanam dan merawat tebu. Selebihnya untuk bibit ataupun pupuk, petani tidak mendapatkannya dari PG kecuali untuk lahan milik PG sendiri dan petani yang lahannya disewa oleh PG. Petani akan mendapatkan fasilitas pinjaman modal dari PG yang disebut dengan KKPE. Pinjaman ini adalah pinjaman dari bank yang dijamin oleh PG dengan system pembayaran dipotong dari hasil panen (penggilingan). Selain itu, para petani juga mendapatkan bantuan pinjaman dari Dana Guliran melalui koperasi yang dikhususkan untuk petani tebu.

Pak Sunardi yang bekerja sebagai mandor di lahan milik pihak ketiga yang bekerja sama dengan PG menjelaskan bahwa system kerja sama dengan PG terjalin dengan baik, hanya saja akan lebih baik jika tingkat rendemen dapat ditentukan dengan jelas dan transparan. Beliau mengharapkan tebu hasil panen miliknya atau tebu yang ditanam didaerah sekitar PG dapat ditentukan tingkat rendemennya dengan mengujinya lebih dulu sebelum dicampur dengan tebu milik petani tebu lepas yang berasal dari luar daerah seperti sragen. Hal ini dikarenakan jika tebu sudah tercampur maka pada saat pengujian dapat dipastikan bahwa rendemen tebu yang jelek atau dibawah 5% akan tertolong oleh tebu yang memiliki rendemen yang bagus atau diatas 5%. Meurutnya, kualitas rendemen tebu di Klaten dan DIY memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan tebu dari luar daerah. PG berani mendatangkan tebu dari luar daerah dan memberikan subsidi transportasi kepada petani lepas dikarenakan PG memdapatkan harga tebu yang lebih murah dibandingkan harga tebu yang diperoleh dari petani tebu disekitar Klaten/ DIY.

Petani tebu mengharapkan agar PG mendukung petani tebu disekitar Pabrik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya petani tebu agar tidak beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan.


Kesimpulan

Hubungan kerjasama antara petani dan pabrik gula diharapkan dapat lebih baik lagi dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang seimbang. Pabrik Gula dapat lebih transparan dalam menentukan rendemen karena PG satu dengan yang lainnya tidak sama sehingga membuat para petani tebu merasa dirugikan karena mempengaruhi hasil yang didapatkannya dengan biaya yang sudah dikeluarkannya.

Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan program swasembada gula dan tata niaga yang telah diatur sehingga para petani tebu dapat terlindungi dan dapat menetapkan harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Selain itu, Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pajak atas gula rafinasi sehingga dana yang diperoleh dari pajak tersebut dapat dialokasikan untuk pembibitan tebu ataupun pupuk.

Demikian artikel penelitian kami, semoga dapat sebagai informasi bersama, salam Penulis Ika Aprilia Hamdan


Daftar Pustaka

http://sinderkebuntebu.blogspot.com/2009/10/apakah-sinder-kebun-tebu-itu.html; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.
http://elisaerni.blogspot.com/2014/12/katya-tulis-ilmiah-pabrik-gula.html; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015
http://www.jatengprov.go.id/id/berita-utama/pg-harus-kedepankan-simbiosis- mutualisme; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.
https://wulanamigdala.wordpress.com/2013/01/09/peran-pabrik-gula-dengan- kemitraan-usaha-tani-tebu-tingkatkan-ekonomi-daerah/; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015
Saut H. Siahaan dkk. 2006. Studi Penguatan Sistem Inovasi Agro Industri Gula Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Pengembangan Iptek. Jakarta. (online)
(http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/files/0107L- TEBU.pdf); Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.

Jumat, 27 Mei 2016

Artikel Penelitian Revitalisasi Pabrik Gula Gundang Baru Klaten


REVITALISASI PABRIK GULA GONDANG BARU KLATEN


PENDAHULUAN

“Indonesia diperkirakan Organisasi Gula Internasional (ISO) akan menggantikan Cina sebagai negara importir gula mentah (raw sugar) terbesar di dunia.” Berikut sepenggal informasi yang kami temukan baru- baru ini di berita ternama. Tidak heran bagi kami, Indonesia dikatakan Negara importer yang cukup besar. Tidak lain, karena Indonesia memiliki pangsa pasar gula yang sangat besar. Masalahnya, Indonesia belum mampu untuk memenuhi pangsa pasar tersebut dengan produksi sendiri. Padahal bila kita dapat mendayagunakan pangsa pasar yang luas tersebut dengan baik kita dapat meningkatkan perekonomian tidak hanya bagi Negara tetapi juga ekonomi daerah terutama para petani.
Menurut Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, salah satu visi pembangunan industri nasional adalah Indonesia menjadi negara Industri Tangguh. Pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020 sebagai negara Industri Maju Baru, karena sesuai dengan Deklarasi Bogor tahun 1995 antar kepala negara APEC pada tahun tersebut liberalisasi di negara-negara APEC sudah harus terwujud. Salah satu industri dari 35 Roadmap Pengembangan Klaster Industri Prioritas di bidang Industri Agro adalah industri gula (www.kemenperin.go.id). Dari visi tersebut, dapat disimpulkan bahwa industri gula adalah salah satu industri yang diharapkan untuk membuat Indonesia menjadi negara Industri Tangguh. Dengan demikian, industri gula juga dapat berpotensi baik untuk meningkatkan pendapatan daerah. Hal itu dapat tercapai apabila pabrik gula berjalan secara efektif dan kontinyu, sehingga produktivitas gula bisa maksimal.

Pada tahun awal 1930-an, negara kita pernah mengalami puncak kegemilangan perkebunan tebu, menjadi Negara pengekspor kedua terbesar di dunia setelah Negara Kuba. Dimana Negara Thailand, Brazil, Australia, India dan China yang nota bene merupakan Negara pengekspor gula terbesar.

ANALISIS KONDISI

Pabrik Gula Gondang Baru Klaten adalah salah satu pabrik gula yang ada di Indonesia terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang merupakan unit usaha dari PT. Perkebunan Nusantara IX. Pabrik Gula Gondang Baru ini telah berdiri sejak tahun 1860 oleh N.V. Klatensche Jongkhervan der Wijk. Pada tahun 1871 luas wilayah perkebunan hanya 207,2 ha, tetapi pada tahun 1919, wilayah sistem produksi bertambah menjadi 852,2 ha (www.wisataagro9.com).

Saat ini Pabrik Gula Gondang Baru Klaten tidak berjalan secara efektif. Dalam 1 tahun, hanya berjalan pada musim giling tebu pada bulan Mei-Agustus. Selain bulan tersebut, pabrik gula ini berhenti beroperasi. Produktivitas gula pasir di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten juga sering tidak mencapai target. Pada tahun 2008, target sebesar 210.000 ton tebu, tetapi hanya tercapai 115.000 ton juta tebu. Pada tahun 2011 juga gagal mencapai target, yang seharusnya mampu mencapai 140.000 ton tebu, tetapi hanya memperoleh 110.000 ton tebu. Untuk tahun 2012, produksi gula ditargetkan mencapai 10.414 ton dengan kebutuhan tebu sebanyak 180.000 ton tebu (www.harianjogja.com).

Pabrik gula Gondang Winangoen ini berbeda dengan pabrik gula lainnya karena ia masih menggunakan sistem pemurniaan dengan menggunakan karbonasi rangkap. Seperti contohnya pada pabrik gula Madukismo, Yogyakarta yang kini sudah menggunakan sistem sulvitasi. Pada sistem karbonasi rangkap zat yang dicampur untuk memurnikan gula adalah zat kapur atau batu gamping, sedangkan pada sulvitasi zat yang dicampurkan adalah sulfur atau yang dikenal sebagai belerang.

ANALISIS PERMASALAHAN

Berdasarkan wawancara yang kami lakukan saat observasi, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan kendala dalam produksi gula yaitu sebagai berikut:
1. Semakin banyaknya hama dan penyakit membuat hasil dari panen tebu sendiri terhambat. Pada masa panen 100 kilogram tanaman tebu bisa menghasilkan rendemen 15 kilogram gula. Akan tetapi, sekarang terjadi perubahan yang cukup signifikan dari 100 kilogram gula hanya menghasilkan rendemen 7 kilogram gula.
2. Proses produksi yang tidak berjalan secara kontinyu,
3. Produksi gula di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten seringkali tidak memenuhi target.
4. Kurangnya perhatian khusus untuk mencari bibit-bibit varietas tebu yang lebih unggul.
5. Karena pangsa pasar kita yang luas dan kemampuan kita yang belum bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri mengakibatkan kita terlalu bergantung kepada negara pengimpor gula.
6. Tingginya harga gula lokal dibandingkan harga gula impor, sehingga masayarakat cenderung memilih gula impor yang lebih murah

PENYEBAB

Berikut penyebab munculnya permasalahan yang mempengaruhi penurunan produksi gula di pabrik gula Gondang Winangun
1. Kurangnya bahan baku yang tersedia
2. Rendemen bahan baku yang sedikit,
3. Peralatan-peralatan pabrik yang tua,
4. Proses pembuatan gula yang belum modern, boros dan mahal.

SOLUSI

Agar Pabrik Gula Gondang Baru Klaten ini bisa berjalan secara efektif dan mampu mencapai target produksi, sehingga dapat menjadi aset daerah yang potensial dan menambah pendapatan daerah, maka perlu dilakukan beberapa evaluasi dan pembenahan. Langkah pertama yang perlu dilakukan agar produksi bisa berjalan secara kontinyu sehingga target bisa terpenuhi, yaitu menambah persediaan bahan baku dengan cara memperluas lahan tebu dan mengarahkan petani Klaten dan sekitarnya untuk menanam tebu. Saat ini minat petani Klaten dan sekitarnya untuk menanam tebu masih sedikit karena rendemen tebu kecil dan tidak bisa dijual di pasar lain, dan harus disetor ke pabrik gula. 

Penyebab dari kecilnya rendemen tebu salah satunya adalah karena salah perlakuan pengairan. Saat musim kemarau, seharusnya lahan lebih sering diairi dan Klaten termasuk kota yang cukup air, seharusnya tidak masalah untuk pendistribusian air ke lahan-lahan tebu. Saat musim hujan, untuk mengontrol jumlah air di lahan harus dilakukan penyedotan air agar lahan tidak terlalu basah. Agar petani Klaten dan sekitarnya tertarik untuk menanam tebu, maka harus dilakukan sosialisasi dan pengarahan bagaimana menanam tebu yang tepat, membangun minat petani dan peneliti untuk memperbarui varietas tebu yang mampu menghasilkan rendemen yang banyak dan berkualitas baik, memberi kebebasan petani Klaten dan sekitarnya untuk menjual tebu ke pasar lain, dan juga mempermudah modal/pinjaman petani tebu di Klaten dan sekitarnya. Dengan dilakukan upaya-upaya tersebut maka dapat memperbanyak bahan baku dan memperbesar rendemen tebu, sehingga pabrik bisa berjalan secara kontinyu.

Langkah kedua yang harus dilakukan yaitu evaluasi dan perbaikan alat-alat pabrik yang sudah tua. Pabrik Gula Gondang Baru Klaten ini telah berdiri sejak dahulu dan produksi juga dinilai kurang efektif. Hal ini menyebabkan pabrik gula ini seringkali kurang mendapat perhatian dari pengelola dan Pemerintah setempat, dan juga diabaikan perawatan alat-alat produksinya, padahal kondisi alat sangat berpengaruh terhadap hasil produksi dan kecepatan proses produksi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak pengelola dan juga Pemerintah setempat lebih memperhatikan keefektifan alat-alat yang ada di pabrik untuk mendukung proses produksi.

Langkah ketiga yaitu evaluasi terhadap proses yang dilakukan untuk pemaksimalan hasil produksi. Saat ini proses yang dilakukan di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten adalah sistem Karbonasi, yaitu pemurnian air tebu dengan cairan kapur dan gas CO2. Sistem ini dinilai kurang efisien karena menggunakan bahan kokas yang harganya mahal. Kokas digunakan untuk memanaskan tobong kapur. Sedangkan pabrik gula lain yanga da di Indonesia dan luar negeri sudah menggunakan sistem Sulfatasi dan Defekasi. Sistem sulfatasi yaitu proses pemurnian dengan cairan kapur dan gas sulfur. Sedangkan sistem defekasi yaitu proses pemurnian hanya menggunakan cairan kapur. Untuk mengubah proses produksi dari sistem Karbonasi menjadi sistem Sulafatasi dan Defekasi ini membutuhkan biaya yang besar, sehingga untuk merealisasikannya perlu bantuan dari pihak Pemerintah Daerah setempat. Tetapi dengan pergantian sistem produksi ini akan mampu menghemat biaya produksi selanjutnya dan memaksimalkan hasil produksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Untuk menjadikan industri gula sebagai salah satu industri yang bisa diandalkan untuk membuat Indonesia menjadi negara Industri Tangguh dan juga bisa menambah pendapatan daerah, maka harus dilakukan beberapa upaya revitalisasi terhadap efektivitas sistem produksi pabrik gula, salah satunya yaitu Pabrik Gula Gondang Baru Klaten. Pabrik Gula Gondang Baru Klaten sering tidak mencapai target produksi, dan beberapa penyebabnya yaitu proses produksi yang tidak kontinyu, kurangnya bahan baku, rendemen tebu yang sedikit, peralatan pabrik yang sudah tua dan proses produksi yang belum modern.

Upaya-upaya untuk mengatasinyaa yaitu :
1. Memperluas lahan tebu dengan meingkatkan minat para petani Klaten dan sekitarnya untuk menanam tebu agar proses produksi berjalan secara kontinyu.
2. Melakukan sosialisasi dan pengarahan penanaman tebu yang tepat agar rendemen banyak.
3. Melakukan penelitian untuk menambah varietas tebu yang baru.
4. Melakukan perbaikan alat-alat pabrik.
5. Mengevaluasi dan mengubah proses produksi yang ada di pabrik dari sistem Karbonasi menjadi sistem Sulfatasi dan Defekasi.

Dengan dilakukannya beberapa upaya Revitalisasi Sistem Produksi Pabrik Gula Gondang Baru Klaten tersebut, diharapkan mampu memaksimalkan efektivitas produksi gula di Pabrik Gula Gondang Baru Klaten, sehingga menambah pemasukan daerah dan menjadi aset daerah yang potensial. Sangat disayangkan apabila daerah Kabupaten Klaten yang sudah memiliki industri yang sebetulnya potensial, tetapi karena salah pengelolaan dan kurangnya perawatan serta perhatian dari pengelola dan Pemerintah setempat, aset ini menjadi terbengkalai dan tidak maksimal dalam proses produksinya.

Terimakasih telah berkunjung, semoga bermanfaat.
Penulis Nova Riyanto

Daftar Pustaka
Kaman Nainggolan, 2005. Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global.Agrimedia. Indonesia.

Artikel Penelitiaan Revitalisasi Pabrik Gula


REVITALISASI PABRIK

Keinginan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional dengan melakukan revitalisasi industri gula dipandang sangat tepat oleh para petani tebu. Namun, harapan petani revitalisasi tersebut harus berbasis tebu. Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), kurang setuju jika program revitalisasi industri gula dilakukan dengan membangun pabrik gula rafinasi. Sebab hal ini justru akan menyebabkan Indonesia tidak sepenuhnya melakukan swasembada gula. Sebab masih harus mengimpor bahan baku dari luar negeri. Seharusnya, revitalisasi tersebut berbasis tebu, yaitu dengan melakukan revitalisasi industri yang sudah ada dan revitalisasi tanaman tebu.

Revitalisasi industri bisa dilakukan dalam dua hal. Pertama meningkatkan kapasitas terpasang pabrik yang telah ada, misalnya peremajaan mesin dan kedua peningkatan efisiensi proses produksi gula. Dengan peningkatan efisiensi proses pengolahan akan bisa meningkatkan tingkat randemen tebu dari saat ini sebesar 8% menjadi 10%. Sementara revitalisasi tanaman gula yaitu dengan melakukan perbaikan varietas tebu yang lebih baik. Dengan melakukan hal tersebut, maka produksi gula dipastikan akan mengalami peningkatan dari 10 ton per hektar menjadi 100 ton per hektar. Selain itu, perluasan lahan tebu juga diharapkan bisa terlaksana. Namun yang terjadi di lapangan, lahan tebu sudah banyak diubah menjadi perumahan dan kawasan pertokoan. Lokasi dengan pabrik gula terbanyak adalah pulau Jawa sebab Jawa sangat potensial untuk penanaman tebu yang merupakan bahan baku utama untuk membuat gula. Saat ini dari lahan seluas 440.000 hektar di pulau Jawa hanya menghasilkan 2,3 juta ton gula, namun apabila pabrik yang ada di Indonesia diperbarui, targetnya adalah 4,2 juta ton gula.

Produktifitas industri gula tidak berkembang karena produktivitas lahan dan rendemen, berubah saling menegasikan. Ketika produktifitas lahan (produksi tebu per hektar) naik, volume gula yang dihasilkan dari setiap ton tebu (rendemen) turun. Upaya pemerintah meningkatkan produktifitas melalui pemberian bantuan kepada petani untuk melakukan peremajaan tanaman tebu (program Bongkar Ratoon) dan subsidi pembelian mesin dan peralatan pabrik (revitalisasi pabrik gula), nampaknya tidak “greget”, kurang berpengaruh pada kinerja industri gula secara keseluruhan. Namun pada skala mikro, dampak program tersebut sebenarnya cukup positif, misalnya kenaikan yield terjadi pada wilayah – wilayah yang terpapar program Bongkar Ratoon. Namun, dampaknya pada industri secara keseluruhan menjadi tidak terasa karena terbatasnya cakupan program. Selain itu, insentif untuk merevitalisasi mesin dan peralatan kurang mendapat sambutan dari pabrik gula yang nota benenya adalah milik pemerintah sendiri.

Insentif untuk meningkatkan produktifitas juga cukup penting. Insentif yang dimaksud adalah untuk karyawan pabrik gula, guna meningkatkan kinerja karyawan. Karena pada saat ini industri gula bukan suatu hal yang menjanjikan bagi karyawan. Disamping banyak masuknya produk dan berdirinya pabrik gula milik asing, industri lain non perkebunan (gula) lebih banyak menyerap tenaga kerja. Penting bagi pemerintah dan pemilik industri pabrik untuk mendiskusikan hal ini. Penyetaraan upah minimal dan mungkin insentif lain, yang bisa saja menjadi motivasi bagi karyawan untuk bersinergi mempertahankan eksistisitas pabrik gula daerah. Sebagai contoh nyata pentingnya upah pekerja adalah beberapa demonstrasi yang dilakukan oleh karyawan pabrik gula, misalnya PG Mritjan Kediri yang melakukan aksi demo kenaikan upah; PG Jatiroto Lumajang yang juga melakukan aksi sama lalu berujung pada negosiasi yang kebetulan disaksikan oleh anggota Komisi VI DPR yang kala itu sedang melakukan kunjungan ke PG tersebut; PG Radjawali Gorontalo yang bahkan melakukan mogok kerja selama 2 hari karena menuntut kenaikan upah dari 430 ribu rupiah per bulan/kayawan menjadi 800 ribu rupiah per bulan/karyawan yang terjadi pada tahun 2003 silam; dan masih beberapa aksi demonstrasi lain yang dilakukan semata untuk menuntut hal yang sama, yaitu upah.

Permasalahannya, dengan jumlah PG BUMN sebanyak 51 unit yang rata- rata umur mesinnya sudah tua, maka investasi yang diperlukan untuk melakukan restrukturisasi akan sangat besar. Dilain pihak, dana yang disediakan pemerintah terbatas. Pemerintah perlu membuat prioritas dengan mengalokasikan dana kepada pabrik gula yang memang sangat memerlukan. Tentunya untuk melakukan ini pemerintah memerlukan informasi awal tentang kondisi peralatan pabrik gula agar sasaran restrukturisasi berjalan efektif. Salah satu tool yang telah banyak digunakan untuk mengukur tingkat efektifitas dan efisiensi dari peralatan keseluruhan pabrik khususnya pada industri manufaktur, adalah Overall Equipment Effectiveness (OEE). Penggunaan metode OEE dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam menentukan daftar PG yang perlu mendapat prioritas program revitalisasi. OEE ialah metrik atau ukuran untuk mengevaluasi efektivitas peralatan. OEE berupaya untuk mengidentifikasi kehilangan produksi dan kehilangan biaya lain yang tidak langsung dan tersembunyi, yang memiliki kontribusi besar terhadap biaya total produksi. Informasi dari OEE digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan penyebab dari rendahnya kinerja suatu peralatan. OEE sendiri merupakan studi kasus yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang peduli akan keberlangsungan pabrik gula di Indonesia. Karena sudah menjadi suatu pernyataan umum bahwa usia pabrik gula di Indonesia mayoritas sudah tua, begitupun alatnya. Hal ini menjadi sesuatu yang dianggap salah satu permasalahan dalam hal revitalisasi pabrik.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa hambatan utama program revitalisasi pabrik gula adalah rendahnya kemampuan dan kemauan investasi pabrik gula BUMN. Hanya sebagian kecil anggaran subsidi pembelian mesin dan peralatan yang sudah dialokasikan pemerintah yang dapat diserap oleh pabrik. Keengganan melakukan peremajaan itu boleh jadi karena manfaatnya bagi perusahaan lebih kecil dari pada biayanya. Bagi pabrik gula, adalah lebih menguntungkan melakukan efisiensi biaya dari pada meningkatkan produktivitas pabrik yang manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh petani (pemilik tebu).

Efisiensi pengelolaan boleh jadi akan membuat pabrik gula BUMN meraih untung, namun itu tidak cukup membuat industri gula mencapai kemajuan. Indikator keberhasilan BUMN gula perlu pula mempertimbangkan kemampuan teknisnya dalam mengolah tebu. Kejujuran dalam menghitung rendemen tentu perlu, tetapi peningkatan rendemen tidak akan optimal jika hanya mengandalkan mesin dan peralatan yang sudah uzur.

Ketika pengelola pabrik, dalam hal pengamatan kelompok kami dalah sinder, adalah salah satu narasumber kami, mengupas seluk beluk pabrik hanya dapat sebatas eksternal pabrik. Untuk masalah internal seperti administratif mesin (seperti tahun berapa, merk apa, dan darimana asal mesin tebu) tidak dapat kami pelajari lebih lanjut. Hanya masalah teknis yang umum terjadi dan memang terjadi di pabrik gula yang kami kunjungi, adalah seperti hal-hal di atas. Pabrik gula sendiri bagi karyawan adalah nafas kehidupan mereka, apa jadinya jika dalam proses pernafasannya ada yang tidak sehat? Analogi yang tepat jika kami menunjuk mesin yang sudah tua adalah salah satu “penyakit” bagi pabrik. Lalu hal lain lagi seperti upah, bangunan, dan sistem produksi pabrik, juga tak kalah menggerogoti. Kelak lambat laun, pendapatan produksi hanya akan cukup untuk menutup biaya operasional dan produksi jika tidak segera dilakukan pembenahan dan hal ini akan merugikan banyak pihak.

Pemerintah selama ini memiliki wacana untuk swasembada gula namun praktiknya, di lapangan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Puluhan pabrik gula yang tersebar di Indonesia masih belum mumpuni untuk menyediakan kebutuhan gula seluruh rakyat Indonesia, baik pengguna perorangan maupun industri lain yang menggunakan gula. Produksi gula di indonesia pada tahun 2014 kurang lebih mencapai 2,58 juta ton. Sementara, konsumsi gula di Indonesia pada tahun yang sama, yakni sebanyak 2,98 juta ton. Secara statistik tampak adanya selisih kurang antara demand dan supply gula. Kita tidak bisa menyalahkan adanya impor gula di Indonesia, karena jika kita tidak menambah pasokan dari luar negara maka kita akan mengalami krisis gula. Asalkan komposisi impor dan produksi sendiri tidak berbanding terbalik, angka impor haruslah lebih sedikit dan mendekati nol untuk menciptakan swasembada gula.

Demikian hasil amatan kami. Semoga bermanfaat, dan jika hendak di gunakan dalam akademik mohon untuk meninggalkan komentar agar kami tahu. Salam dari penulis Venny Kuspriyanti. Terimakasih banyak.

Daftar Pustaka

Koran Sinar Tani. 2014. Minat Petani Menanam Tebu Menurun. 25 Juni 2014.
Muaddab, Hafis. 2013. Swasembada Gula Indonesia: Manisnya Mimpi dan Pahitnya Kenyataan. 25 Juni 2014.
Susila, W.R. 2005. Pengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor

Kamis, 26 Mei 2016

Artikel Penelitian Peran pemerintah dalam kebutuhan melaut dan memberantas praktik monopoli


Masih minimnya peran pemerintah dalam memberikan solusi kebutuhan melaut dan memberantas praktik monopoli harga ikan.


Berdasarkan artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum efisien dan tidak efektif dalam menyikapi dan memberi solusi atas masalah para nelayan. Pemberian pinjaman lunak untuk membeli kapal tidak maksimal karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman dikalangan nelayan, mereka sudah difasilitasi dan dimonopoli oleh para pengepul. Apabila dibiarkan terus menerus pengepul yang memonopoli hasil ikan para nelayan itu akan sangat merugikan nelayan. Sekilas nelayan berfikir mereka tidak dirugikan oleh para pengepul karena mereka difasilitasi kapal oleh pengepul. Nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pengepul atau pemilik modal.

Misal ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka dikendalikan dan dimonopoli oleh pengepul atau pemilik modal. Hal ini tentu menyebabkan distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah dan berada pada posisi dirugikan sedangkan pengepul atau pemilik modal dapat meraup keuntungan yang besar dengan adanya spekulasi harga. Selain itu dengan adanya gejala modernisasi perikanan yang tidak banyak membantu nelayan dan malah mebuat nelayan terutama nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti adanya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Sosialisasi dan pelatihan dari pemerintah yang tidak terstruktur dan terjadwal dengan baik justru membuat nelayan semakin kualahan dan bingung untuk menyesuaikan kebijakan pemerintah karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan nelayan dengan fasilitas yang pemerintah berikan. Kebijakan yang pemerintah berikan sebagai solusi bagi nelayan hanya sia-sia dan tidak berjalan dengan baik serta tidak memberikan hasil yang maksimal karena tidak totalitas dalam pelaksanaannya. Walaupun maksud kebijakan pemerintah tersebut untuk memaksimalkan kerja nelayan dan meningkatkan pendapatan tetapi karena kurang terstruktur maka tetap saja pendapatan nelayan tidak sebanding dengan kerja keras mereka dan kurang merata.

Untuk itu pemerintah harus menjadikan semua pengepul dan nelayan menjadi satu lalu dipekerjakan dan difasilitasi pemerintah dengan program yang terstruktur dan matang agar monopoli yang dilakukan pengepul dapat diminimalisir dan kerugian nelayan dapat berkurang. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi atas pemberian pinjaman lunak untuk pembelian kapal, agar nelayan dapat mengetahui dengan jelas dampak dan manfaat kebijakan tersebut seperti nelayan bisa memiliki kapal sendiri dan dapat memaksimalkan hasil ikan untuk meningkatkan penghasilan tanpa mereka di fasilitasi oleh pengepul yang memonopoli hasil ikan. Selain itu pelatihan untuk melaut dengan kapal besar juga harus dijadwalkan dengan sebaik mungkin, serta program yang diberikan harus maksimal dan terstruktur tidak setengah-setengah jadi hasil produksi yang didapat juga maksimal.

Pemerintah juga harus menyikapi dan mengambil langkah terhadap masalah monopoli harga oleh pengepul, memberikan jalan keluar bagi nelayan agar terbebas dari monopoli harga hasil ikan yang mereka produksi. Pemerintah harus memberikan dan membagi wilayah territorial bagi para nelayan. Merencanakan program-program kedepan yang dapat mengentas kemiskinan dan ketertinggalan para nelayan karena campur tangan pengepul dan kurang pengalaman para nelayan, serta perencanaan program untuk memaksimalkan hasil laut dan meningkatkan penghasilan bagi nelayan. Menyatukan dan menggabungkan antara nelayan dan pengepul agar menjadi satu kesatuan kerja yang dapat membantu pemerintah dalam mengoptimalkan hasil kelautan tanpa adanya monopoli dan tidak ada pihak yang dirugikan semua pihak mendapat hasil yang merata sesuai dengan produktivitasnya.

Solusi Mennggerakkan Hati Pemerintah Untuk Peduli Nasib Nelayan Depok


Alasan saya menganalisa artikel tersebut adalah bahwa pemerintah belum dapat memaksimalkan kinerjanya dalam mengatasi masalah nelayan yang dimonopoli hasil ikannya oleh para pengepul. Menteri perikanan khususnya belum mampu mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan hasil ikan nelayan. Selain itu nelayan di Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil kurang pengalaman dan pengetahuan yang menyebabkan nelayan tidak dapat mengikuti dan menjalankan peraturan pemerintah untuk menggunakan kapal besar dan penangkapan ikan secara modern. Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana juga menentukan kualitas dan pendapatan nelayan.

Pengepul yang selama ini memonopoli nelayan dan secara tidak langsung pengepul telah meraup untung yang besar dan merugikan nelayan dapat di minimalisir dengan penyatuan kinerja antara pengepul dan nelayan guna meningkatkan penghasilan dan menyetarakan antara keduanya. Pemerintah juga harus menemukan solusi dalam pengeksploitasian dan pemanfaatan hasil ikan nelayan agar tidak ada pihak yang dirugikan lagi.

Jika pemerintah lebih memperhatikan para nelayan kejadian tersebut tidak akan terjadi , tidak aka nada monopoli hasil ikan yang dilakukan oleh pengepul yang menyebabkan para nelayan merugi karena pengepul tidak mendapatkan celah untuk melakukan monopoli tersebut. Pemerintah juga seharusnya memberlakukan peraturan yang berisi larangan pengepul untuk membeli dan menjual secara berlebihan hasil ikan nelayan. Disamping itu pemerintah juga harus bisa menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan penghasilan nelayan dan menyediakan saluran untuk memasarkan hasil ikan nelayan.

Penyaluran hasil ikan oleh lembaga resmi pemerintah dan terstruktur dapat menghindari terjadi adanya penyelewengan atau penyalahgunaan hasil ikan nelayan. Nelayan juga mendapatkan penghasilan yang sesuai dan tidak lagi dirugikan oleh para pengepul yang memonopoli hasil ikan mereka. Selain itu dengan adanya penyatuan kinerja antara nelayan dan pengepul dapat memaksimalkan penghasilan dan membantu pemrintah dalam meningkatkan hasil perikanan dan meningkatkan kesejahtaeraan nelayan serta mengurangi adanya kecurangan atau monopilo yang dilakukan oleh pengepul.

Disamping itu kurang matangnya program pemerintah yang diadakan menjadi salah satu penyebab kegagalan program pemerintah untuk meningkatkan hasil perikanan dan meningkatkan kesejahteraan nelayan seperti pengadakan pinjaman lunak yang belum tersosialisasi dengan baik, pengadaan kapal besar untuk menangkap ikan guna meningkatkan hasil ikan, dan pelatihan yang diadakan oleh pemerintah yang belum terstruktrur dengan baik.

Dengan pembagian wilayah territorial bagi setiap nelayan dan pengepul dapat meratakan penghasilan antara keduanya jadi tidak ada pihak yang dirugikan atau tidak mendapatkan daerah untuk menangkap ikan. Selain itu dengan pembagian daerah territorial mengurangi persaingan tidak sehat antar para nelayan yang dapat merugikan banyak pihak. Untuk itu campur tangan pemerintah dalam mensejahterakan nelayan sangat diperlukan, akan tetapi kerja sama pemerintah, menteri kelautan, nelayan, dan pihak-pihak yang bersangkutan sangat penting guna untuk mensukseskan program-program dan kebijakan pemerintah untuk masa depan nelayan. Demikian Terimakasih, penulis Bagus Septiawan. Semoga bermanfaat.

Artikel Penelitian Usaha Perlawanan Nelayan


Tidak Ada Usaha Perlawanan dari Para Nelayan

Di daerah Pantai Depok Yogyakarta, para nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan melaut tidak dapat berbuat banyak untuk menghidupi kebutuhannya dikarenakan praktik monopoli. Para nelayan yang tidak memiliki alat untuk melaut dapat meminjam dari para pengepul, akan tetapi seluruh hasil lautnya harus dijual kembali ke pengepul. Yang menjadi permasalahan adalah harga yang dirasa sangat rendah, sehingga para nelayan pun banyak yang kurang mampu memenuhi kebutuhan sehari – harinya. Para nelayan sesungguhnya sudah menyadari bahwa harga jual hasil laut yang mereka tangkap kepada pengepul sangat tidak sebanding jika dibandingkan harga yang dijual para pengepul tersebut di pasar ataupun pembeli – pembeli lainnya. Akan tetapi para nelayan juga tidak dapat berbuat apa – apa untuk melawan aturan main tersebut. Para nelayan hanya bisa terus menerus mengikuti aturan main dari para pengebul tersebut.

Suasana Pantai Depok
Para nelayan di daerah Pantai Depok tidak dapat melawan praktik monopoli tersebut, dikarenakan beberapa hal. Yang pertama mereka merasa harus tetap melaut guna memenuhi kebutuhan hidup keluarnya. Karena masih ada sebagian nelayan yang hanya menggantungkan hidupnya dari hasil melaut, walaupun di sisi lain hasilnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kedua karena mereka tidak memiliki pilhan lain selain harus meminjam peralatan dari para pengepul tersebut, sehingga mau tidak mau harus mengikuti aturan main dari para mengepul. Karena mereka harus melaut tetapi mereka tidak memiliki kapal dan peralatan melaut lainnya. Sehingga mereka harus meminjamnya dari para pengebul yang berakibat mereka harus menjual hasil melautnya kepada pengepul yang mereka pinjami peralatan melaut tersebut. Mereka tidak berani menjual hasil lautnya kepada orang lain walaupun orang tersebut juga seorang pengepul. Mereka benar – benar harus menjualnya kepada pengepul yang meminjami mereka peralatan melaut. Apabila mereka berani melanggar aturan main tersebut, mereka dapat diasingkan oleh para pengepul, atau bahkan terkadang terjadi praktik premanisme.

Alasan yang ketika mengapa para nelayan tidak mampu untuk melawan praktik monopoli ini adalah belum adanya dukungan yang tepat dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bantuan – bantuan dari segi ekonomi untuk masyarakat tidak mampu belum tepat sasaran, sehingga para nelayan tidak dapat lepas dari pekerjaan yang kurang menguntungkan karena praktik monopoli ini. Selain itu kredit usaha yang diharapkan dapat membantu para nelayan untuk memiliki kapal juga belum menyeluruh dan tepat sasaran. Sehingga para nelayan yang belum memiliki kapal harus tetap mengikuti aturan yang berlaku.

Yang menjadi alasan terakhir para nelayan tidak dapat melawan praktik monopoli adalah karena para nelayan tersebut tidak memiliki keberanian untuk melawan praktik monopoli tersebut. Praktik monopoli di daerah Pantai Depok Yogyakarta dilakukan oleh para pemain besar dan orang – orang yang berpengaruh di daerah Pantai Depok tersebut. Para pengepul yang memainkan monopoli ini bukanlah pengepul baru, mereka adalah pengepul – pengepul besar yang memilik puluhan kapal. Dengan kuasa dan keuangan yang kuat, mereka bisa menyetir puluhan nelayan di kawasan Pantai Depok untuk bekerja di bawah mereka. Mereka memanfaatkan para nelayan yang hidup hanya bergantung dari melaut, dan tidak memiliki peralat sendiri, agar dapat bekerja di bawah mereka. Mereka memberikan pelayanan – pelayan kepada para nelayan, yang tidak hanya berupa peminjaman peralatan, mereka juga sering memanjakan para nelayan yang semakin membuat para nelayan takut untuk melawan aturan main yang telah ditetapkan oleh para pengepul. Dikarenakan berbagai alasan tersebutlah akhirnya sampai dengan saat ini para nelayan belum dapat lepas dari praktik monopoli yang sudah sangat pengakar di kawasan Pantai Depok Yogyakarta.

Butuh langkah tepat dan komitmen yang tinggi dari seluruh pihak terkait untuk memberantas praktik monopoli tersebut. Nelayan indonesia umumnya dan nelayan kawasan Pantai Depok Yogyakarta khususnya membutuhkan perhatian dan dukungan dari kita semua untuk dapat terlepas dari belenggu monopoli. Nelayan diharapkan dapat mengangkat kesejahteraan kehidupan mereka. Pemerintah khususnya yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyat harus secara serius memikirkan dan menindaklanjuti permasalahan kesejahteraan nelayan yang sangat memprihatinkan ini. Nelayan harusnya dapat perlakuan yang adil dari seluruh pihak termasuk dari pengepul. Akan lebih baik apabila pemerintah memberikan bantuan yang tepat dan menyeluruh kepada nelayan agar dapat memiliki kapal dan peralatan melaut sendiri, sehingga para nelayan tidak dapat diperlakukan semena mena oleh para pengepul terutama masalah harga jual hasil melaut.


PEMBUATAN KOPRASI UNTUK PENGEPUL YANG DIKOORDINASI OLEH PARA NELAYAN SENDIRI

Di daerah Pantai Depok Yogyakarta, para nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan cara melaut memiliki masalah yang cukup serius yaitu praktik monopoli pendagangan yang dilakukan oleh para pengepul ikan. Mereka yang tidak memiliki peralatan dan modal untuk mencari ikan akan dipinjami oleh para pengepul . Tetapi timbal baliknya cukup memberatkan nelayan. Para nelayan diwajibkan menjual hasil lautnya kepada pengepul yang sudah meminjami alat dan modal untuk mereka melaut. Tidak sampai di situ saja, mereka juga harus mengikuti harga hasil laut dari para pengpul. Harga yang ditawarkan sang pengepul pun terkadang sangat rendah hingga terkadang untuk menutup biaya operasional saja tidak bisa, apalagi untuk memberi makan anak istri di rumah. Para pengepul yang biasanya adalah orang yang berpengaruh ataupun terpandang di daerah tersebut sudah saling berkoordinasi untuk memainkan harga ikan, padahal para pengepul tersebut menjualnya lagi dengan harga yang relatif lebih tinggi, hal inilah yang terkadang membuat para nelayan sakit hati.

Apabila praktik monopoli ini terus dibiarkan, maka para nelayanlah yang akan terus menerus menjadi korbannya. Para nelayan akan terus dipermainkan oleh harga dan sistem yang diterapkan oleh para pengepul –pengepu besar. Butuh Keberanian dan langkah kongkret untuk melawan praktik monopoli ini. Salah satunya yang dapat dilakukan oleh para nelayan adalah membentuk sebuah kelompok yang diisi oleh para nelayan bisa dalam bentuk koperasi, yang berfokus pada membentuk pengepul mandiri untuk para nelayan. Dengan kata lain, para nelayan tidak perlu menjual hasil ikan kepada para pengepul – pengepul besar yang mempermainkan harga, mereka dapat menjual hasil laut mereka kepada koprasi pengepul yang beranggotakan para nelayan itu sendiri.

Koperasi ini dapat berjalan saat dukungan dari pemerintah juga berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Para nelayan pertama – tama harus mendapatkan bantuan modal dan peralatan melaut yang memadai. Hal ini supaya para nelayan tidak lagi bergantung kepada para pengepul untuk meminjamkan peralatan dan modal melaut kepada para nelayan. Dengan begitu para nelayan tidak perlu harus menjual hasil lautny akepada satu orang pengepul saja, Nelayan dapat mencari penawaran tertinggi untuk hasil lautnya, atau bahkan menjual langsung hasil lautnya ke konsumen. Selain itu nelayan juga dapat menjual ke koperasi pengepul yang sudah mereka bentuk, yang pasti tidak terdapat permainan harga di koperasi tersebut. Dapat dipastikan bahwa harga di kopersi tersebut adalah harga riil yang terdapat di pasar, karena koperasi tersebut dikelola oleh nelayan itu sendiri. Dengan demikian mereka dapat mematok harga yang pantas untuk hasil laut mereka.

Selanjutnya pemerintah juga harus melakukan pembinaan dan penyuluhan tentang membentuk dan memanajemen kopersi agar koperasi tersebut berjalan dengan baik sebagaimana seharusnya dapat membantuk para nelayan untuk membentuk sistem pengepulan yang mandiri. Apabila para nelayan tidak diperikan pembinaan dengan baik, maka koperasi tersebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya dan hanya akan menjadi wacana yang mungkin tidak dapat terealisasi atau hanya terealisasi sebentar lalu kemudian tidak dapat berjalan kembali. Para nelayan harus dapat memanajemenkoperasi tersebut dengan baik, sehingga tujuan dari koperasi tersebut dapat tercapai yaitu untuk membuat para nelayan mandiri dan tidak selalu bergantung kepada para pengepul yang dirasa telah melakukan praktik monopoli harga ikan.

Para nelayan harus segera mandiri karena apabila tidak, maka para nelayan aka semakin susah untuk lepas dari jerat praktik monopoli tersebut. Para nelayan akan memilih untuk diam dan selalu mengikuti sistem yang telah ada. Butuh komitmen yang tinggi dar berbagai pihak untuk segera menyelesaikan permasalahan ini, baik dari pemerintah, warga sekitar, hingga para nelayan itu sendiri. Seluruh pihak harus bekerja sama untuk membantu meningkatkan kesejahteraan para nelayan salah satunya dengan cara pembuatan kopersi yang bergerak di biang pengepulan ikan tersebut. Pemerintah harus mendukung gerakan ini dan para nelayan juga harus siap untuk bergerak dan melawan praktik monopoli tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat. Penulis artikel Yodan Tunggul Pranata. Terimakasih.

Artikel Penelitian praktik monopoli harga ikan yang terjadi di pantai Depok


Pemapaparan praktik monopoli harga ikan yang terjadi di pantai Depok


Pantai Depok adalah salah satu wisata alam pantai yang berada di selatan provinsi Yogyakarta. Pantai ini secara geografis terletak berdampingan dengan pantai parang tritis dan parang kusumo. Selain sebagai tempat wisata potensi alam yang berupa perikanan laut juga menjadi sumber penghasilan penduduk sekitar pantai Depok. Pada dasarnya penduduk sekitar pantai depok adalah sebagai seorang petani. Akan tetapi walau sebagai seorang petani pada umumnya mereka juga menjadi nelayan. Hal itu tidak terlepas dengan dilihatnya kekayaan laut pantai Depok sendiri sangat melimpah. Hal itulah yang mendorong para penduduk sekitar pantai depok itu memilih pekerjaan sebagai nelayan.

Namun yang sangat disayangkan kekayaan laut pantai Depok tidak serta merta membuat neyalannya menjadi hidup sejahtera dan serba berkecukupan. Hal itu dikarenakan di pantai Depok sendiri terjadi praktik monopoli harga ikan hasil tangkapan para nelayan pantai Depok. Di pantai depok itu sendiri sebenarnya banyak nelayannya. Hal itu bisa dilihat di sana ada sekitar 80 an perahu yang di gunakan nelayan untuk mencari ikan. Jadi bisa dikatakan banyak para nelayan yang mengantungkan hidupnya dari melaut. Akan tetapi yang membuat keadaan sangat miris adalah dari ke sekian banyak kapal yang ada di sana tidaklah semua milik para nelayan dan ternyata kapal-kapal itu sebagian besar milik para pengepul, jadi si nelayan hanya dipinjamin kapal dan untuk penjualan ikannya hanya dipegang oleh 4-5 orang pengepul saja dan dengan otomatis untuk soal permainan harga dikendalikan oleh para pengepul itu. Setiap pengepul sendiri sudah mempunyai nelayan yang wajib setor hasil tangkapan ikannya masing-masing. Jadi nelayan itu tidak bebas mau menjual hasil tangkapannya ke siapa yang dia kehendaki.

Disitu bisa kita lihat bersama bahwa peran TPI (Tempat Pelelangan Ikan) tidak berfungsi sebagai mana mestinya. TPI sendiri tidak lebih hanya sekedar menjadi tempat penimbangan ikan. Hal itu bisa dilihat juga dengan adanya larangan bagi pedagang ikan dari luar tidak boleh masuk untuk ikut membeli ikan hasil tangkapan para nelayan pantai Depok. Secara otomatis semua harga ikannya dalam kendali hanya 4-5 pengepul tadi. Sebagai contoh praktik monopoli harganya sebagai berikut, seumpama ada seorang nelayan A dia sudah mempunyai kewajiban menjual ikannya ke pengepul B maka secara otomatis nelayan A itu tadi tidak boleh menjual ikannya kepada pengepul C atau pengepul lainnya. Apabila nelayan A itu sendiri berani melanggarkan dengan kata lain dia menjual ikannya kepada selain pengepul B maka nelayan A itu biasanya mendapatkan intimidasi dari pengepul B seperti di kucilkan atau bahkan sampai diancam. Dan yang lebih parah lagi kadang konflikpun terjadi diantara para pengepul itu sendiri jika ada salah satu berani menaikkan harga sedikit saja antar pengepul bisa berkelahi menurut salah satu sumber kami nelayan pantai Depok bapak Jumadi.

Menurut bapak Jumadi sesama pengepul sendiri kadang mengadakan kompromi untuk menjatuhkan harga ikan. Padahal harusnya harga ikan itu sendiri lagi stabil, semua itu demi mencari keuntungan besar untuk para pengepul itu sendiri. Biasanya yang di permainkan adalah harga ikan yang kwalitas mahal seperti layur, kakap merah dan lain- lain. Untuk melancarkan bisnisnya itu para pengepul berusaha mengambil hati para nelayan dengan berbagai cara seperti, meminjami kapal, membelikan jaring, mengajak makan-makan dan minum-minum para nelayan. Semua itu dilakukan agar nelayan tersebut mau menjual hasil tangkapannya kepada si pengepul. Padahal sebenarnya para nelayan itu sendiri tahu harga ikan dimonopoli oleh para pengepul akan tetapi nelayan pun tetap menjual hasil tangkapannya tersebut kepada pengepul karena rasa tidak enak karena sudah di bantu tadi. Kadang nelayan menjumpai sendiri ketika sedang menjual hasil tangkapannya ke pengepul ada pembeli yang beli ikan ke pengepul itu dan ternyata di hargai dengan harga yang tinggi, sedangkan nelayan itu sendiri diberikan harga murah ketika hasil tangkapannya di beli oleh pengepul. Itu yang kadang membuat sakit hati para nelayan pantai Depok.

Hal itulah yang sebenarnya menjadi perhatian pemerintah sekarang ini. Karena rata-rata di setiap TPI yang ada di pantai selatan pulau Jawa sudah terjadi praktik monopoli. Sebenarna menteri kelautan Ibu Susi Pudjiastuti sendiri sudah mengetahui hal itu dan menginginkan segera merombak praktik monopoli yang ada di TPI-TPI pantai selatan agan kesejahteraan para nelayannya meningkat. Akan tetapi sampai detik ini belum ada tindakan apapun dan kita semua paham hal itu membutuhkan proses juga. Namun besar harapan kita wacana itu segara terrealisasi karena secara geografis Indonesia sendiri adalah negara maritim yang secara otomatis hasil kekayaan laut nya sangat melimpah. Akan tetapi yang disayangkan hasil laut itu belum mensejahterakan penduduknya.


Mewujudkan Koperasi Ikan Dan Mimpi Kesejahteraan Nelayan Pantai Depok

Praktik monopoli harga ikan di Pantai Depok sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Sesuatu yang sudah lumrah dan pasti terjadi dalam dunia perikanan di seluruh penjuru negeri ini. Kaum-kaum pemodal besar selalu berusaha menggencarkan misinya demi membangun istana kekayaan secara pribadi tanpa memandang kepedihan yang di rasakan para pemodal kecil dalam hal ini adalah para nelayan Pantai Depok. Melihat kemirisan seperti ini tidaklah pantas kita hanya menutup mata tanpa berbuat sesuatu untuk sebuah perubahan besar menuju kesejahteraan para nelayan.

Langkah-langkah harus kita ambil demi perubahan besar itu. Perubahan yang mendasar, pembenahan sistem ekonomi kerakyatan dan perubahan pola hidup para nelayan harus kita lakukan demi melawan praktik monopoli kaum-kaum pemodal. Beberapa solusi yang bisa kita ambil diantaranya mengubah pola hidup kewirausahaan para nelayan, membangun koperasi ikan dan memfungsikan koperasi ikan menjadi koperasi usaha.

1. Mengubah Pola Hidup Kewirausahaan Para Nelayan

Mungkin akan muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan mengubah pola hidup kewirausahan para nelayan itu seperti apa? Begini, sudah diketahui banyak orang bahwa nelayan kita dewasa ini sudah terdidik menjadi nelayan yang konsumtif. Mereka hanya berfikir bagaimana mencari ikan dan menjualnya sehingga mendapatkan uang dan menggantungkan hidupnya kepada uang, kalaupun ada uang mereka langsung membelanjakan barang-barang yang sebenarnya malah mempunyai nilai tukar menurun nantinya. Barang-barang itu seperti kendaraan bermotor, barang elektronik.

Ketergantungan akan uang inilah sebenarnya yang menjadi masalah mendasar yang di alami para nelayan. Kenapa? Karena nilai tukar uang itu cenderung tidak stabil. Apalagi seiring semakin naiknya inflasi dan kenaikan BBM secara otomatis nilai tukar uang makin merosot. Seperti contoh ketika mendapatkan hasil tangkapan dan dijual senilai 5 juta maka dengan adanya kenaikan BBM maka harga bahan pokok juga naik sehingga nilai uang 5 juta itu sendiri tidak senilai lagi dengan waktu mendapatkannya.

Maka para nelayan seharusnya mulai berfikir bagaimana hasil tangkapannya itu menjadi produk yang mempunyai nilai tukar berlebih dan bisa disimpan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama sehingga keuntungan pun yang didapat juga lebih banyak. Produk yang dimaksud adalah ikan bisa diolah menjadi empek empek, nugget, tahu ikan tuna, sarden dll. Sehingga ikan hasil tangkapan nelayan tidak usah buru-buru dijual atau di uangkan.

Pendidikan kewirausahaan itu yang sekarang diperlukan oleh nelayan pantai depok. Sehingga mereka tidak langsung menjual ikan hasil tangkapannya. Para nelayan pun bisa mengolahnya secara pribadi dengan membangun home industri. Sehingga setidaknya ada alasan untuk tidak menjual ikan kepada pengepul atau secara perlan-lahan bisa melawan praktik monopoli yang terjadi di pantai depok.


2. Membangun Koperasi Ikan dan Memfungsikan Koperasi Sebagai Koperasi Usaha

Selain membangun jiwa kewirausahaan usaha dengan mengolah hasil tangkapan ikan menjadi produk yang lebih mempunyai nilai lebih. Hal lain juga bisa dilakukan dengan membangun Koperasi Ikan. Seperti yang semua orang ketahui dari berbagai sumber kita ketahui bahwa dunia perkoperasian negara kita sekarang ini bisa dikatakan mati suri. Kebanyakan koperasi bermutasi menjadi koperasi simpan pinjam dan yang lebih miris lagi koperasi simpan pinjam banyak terjadi kredit macet. Itulah fenomena koperasi yang ada dinegeri ini. Padahal banyak negara-negara maju yang menggunakan koperasi untuk menompang sektor-sektor perekonomian seperti di Belanda koperasi memegang sektor peternakan, Singapura memegang sektor usaha dan masih banyak negara maju lainnya. Seharusnya negeri kita mampu maju dengan koperasi.

Melihat kondisi nelayan pantai Depok, seharusnya dibangun Koperasi Ikan di sana. Maksudnya koperasi ikan itu sendiri nantinya para nelayan yang menjadi anggotanya. Jadi para anggota bukan menyetor uang untuk iuran wajibnya, tapi para anggota menyetor ikan hasil tangkapannya sebagai iuran wajib anggotanya. Karen nilai ikan tangkapan sendiri berbeda-beda maka perlu juga ikan yang disetorkan juga di nilai secara rupiah. Setelah ikan di setorkan ke koperasi nantinya koperasi mengatur penjualan dan pengolahan ikan agar menjadi nilai jual yang lebih.

Selain itu koperasi ikan bisa menjadi koperasi usaha dimana bisa menyerap lapangan pekerjaan para anggota keluarga nelayan dan istri-istri nelayan bisa di koordinir menjadi pemasar hasil olahan ikan tadi sehingga mereka juga mendapatkan pemasukan tambahan untuk keluarganya. Jadi secara prinsip Koperasi Ikan tersebut dari nelayan oleh nelayan dan untuk nelayan.

Dengan hadirnya Koperasi Ikan di pantai depok harapan baru akan segera terwujud bagi kesejahteraan para nelayan di sana. Para bapak fokus mencari ikan, ikan di setor ke koperasi, koperasi mengolah ikan dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi anggota keluarga nelayan yang masih menganggur tak kalah juga para ibu-ibu bisa ikut berpartisipasi dalam penjualan hasil olahan ikan. Dan di akhir setiap tahunnya ada pembagian SHU kepada para nelayan pantai Depok.

Dengan beberapa solusi untuk melawan praktik monopoli yang ada di Pantai Depok di atas. Diharapkan praktik monopoli bisa hilang secara perlahan tanpa perlu adanya perlawanan fisik dari para nelayan Pantai Depok. Demikian, terimakasih, Penulis Ari Yanto.

Artikel Penelitian dari segi ekonomi kondisi kesejahteraan nelayan pantai depok


Dilihat dilihat dari segi ekonomi, kondisi kesejahteraan nelayan pantai depok ternyata masih belum terpenuhi.

Menjadi nelayan merupakan pekerjaan sampingan bagi sebagaian nelayan di Pantai Depok. Menjadi petani adalah pekerjaan utama bagi para nelayan tersebut, dikarenakan untuk melaut para nelayan ini bergantung dari cuaca dan juga musim ikan yang kadang tidak bisa diprediksi oleh para nelayan. Menjadi petani pun para nelayan ini tidak mempunyai lahan pribadi untuk bertani, mereka hanya bekerja menggarap lahan orang lain saja, sehinggan hasilnya dibagi dua dengan dengan yang punya lahan tani tersebut. Untuk kehidupan sehari-hari para nelayan ini dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan juga pendidikaan bagi anak-anaknya, walaupun banyak juga yang tidak sampai lulus SMA ataupun SMP. Banyak juga para anak nelayan ini tidak mau sekolah dikarenakan sudah harus menacari nafkah membantu orangtuanya. Sebagai warga kurang mampu akibat BBM naik dan cuaca sehingga para nelayan tidak bisa melaut, maka pemerintah juga memberikan bantuan kepada para nelayan ini dengan dengan nama bantuan PSK. Banyak juga para nelayan ini tidak dapat bantuan pemerintah disebabkan kurang terdatanya para nelayan kurang mampu ini. Kurangnya pendistribusian data nelayan kurang mampu yang kurang tertarget sehingga terkesan pemerintah asal comot data saja. Bantuan yang adapun dibagi rata kembali dengan nelayan yang lain, sehingga tidak maksimal bantuan yangdiberikan oleh pemerintah.


Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya saja. Bantuan pemerntah ini tidak mengangkat kesejahteraan nelayan dipantai depok. Namun warga dikawasan Pantai Depok memang dikenal sebagai nelayan yang tangguh, karena sebagian dari mereka berasal dari Cilacap yang terkenal dengan nelayan-nelayan nya yang pandai melaut.

Hanya dengan menggunakan perahu tempel mereka bisa sampai ke tengah laut dengan jarak 2 - 5 Km. Biaya yang diperlukan untuk sekali melaut sekitar rp. 200.000.00 (Dua Ratus Ribu Rupiah). Rp. 100.000.00 (Seratus ribu rupiah) untuk membeli bahan bakar, dan sisa nya untuk bekal selama melaut. Selain itu, ada juga nelayan yang membuka warung-warung makan di Pantai Depok. Karena mereka melaut sejak jam 06.00 pagi hingga siang sekitar jam 14.00 bekerja, maka sore harinya mereka menjual hasil tangkapannya tersebut.

Hal ini terkait dengan harapan para nelayan untuk pemerintah yang sangat sederhana. Mereka ingin adanya bantuan pemerintah berupa penyediaan alat tangkap untuk memberi modal para warga Pantai Depok. Pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan para nelayan. Dengan harapan ini, para nelayan ingin memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya agar hidup layak. Selain itu, mereka juga berharap agar harga BBM tidak mahal, sehingga terjangkau juga bagi kalangan rakyat kecil. Kebutuhan para nelayan ini yang dianggap masih kurang perhatian dari pemerintah sehingga diperlukan kerjasama para nelayan untuk dapat menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan cara mengajukan proposal ataupun mengajak pemerintah untuk melihat kondisi langsung dari para nelayan ini.

Adanya anak-anak nelayan yang berpendidikan layak dapat juga membantu para nelayan ini mendapatkan informasi yang bagus untuk meningkatkan pendapatan para nelayan dengan mencari tau soal bantuan pemerintah ataupun teknologi yang dapat dipergunakan oleh para nelayan untuk dapat memberi hasil melaut lebih. Pemberian penyuluhan pun mesti ditingkatkan lagi agar para nelayan dapat memberikan hasil maksimal dari melaut dan bertani. Ini merupakan PR bagi pemerintah dan juga pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan pantai depok.

Dengan kata lain, para nelayan ini masih jauh dari hidup sejahtera, dibutuhkan langkah-langkah besar dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan dipantai depok ini. Sehingga para nelayan bisa lebih berdikari mampu menghidupi keluarga dan menghasilkan anak-anak bangsa yang bependidikan baik sehingga mampu mengangkat derajat kehidupan orangtuanya masing-masing.

Solusi Kesejahteraan Hidup Para Nelayan Pantai Depok

Dilihat dilihat dari segi ekonomi, kondisi kesejahteraan nelayan pantai depok ternyata masih belum terpenuhi. Maka solusi yang bisa membantu kondisi kesejahteraan nelayan pantai depok adalah memberikan pendidikan kewirausahaan untuk mengolah secara mandiri hasil laut sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan pendidikan kewirausahaan untuk para nelayan pantai depok ini, salah satunya adalah dengan membuka pelatihan tersebut dengan bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah dan non pemerintah.

Tetapi butuh kerjasama yang baik antara para nelayan pantai depok untuk dapat melaksanakan pendidikan kewirausahaan ini. Salah satunya adalah program dari Kementerian Koperasi dan UKM meluncurkan program pelatihan kewirausahaan yang ditujukan bagi keluarga petani dan nelayan di empat provinsi di Indonesia.Program pelatihan yang akan digelar di Jawa Tengah meliputi beberapa Kabupaten di antaranya Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Tegal. Kedepan, Kemenkop UKM akan memperluas pelaksanaan program di provinsi-provinsi lain. Untuk tahap awal Kemenkop UKM berencana untuk dapat menyalurkan program ini kepada Keluarga Nelayan sebanyak 5.000 orang, Keluarga Petani juga 5.000 orang, Pelaku UKM di sentra berbasis budaya lokal, Pengangguran Sementara, dan Anggota Koperasi/Pra Koperasi. Masyarakat keluarga petani dan nelayan juga berkesempatan mendapatkan bantuan permodalan bagi Wirausaha Pemula sebesar maksimal Rp25 juta. Dengan adanya pelatihan dari program pemerintah ini dapat meningkatkan pendapatan para nelayan di pantai depok, akan tetapi ini mesti didukung oleh semua pihak dan juga keinginan besar dari para nelayan untuk dapat memperbaiki taraf hidup masing-masing keluarga. Bantuan ini pun semestinya dikontrol dan di pantau secara berkala sehingga dapat menjadi program jangka panjang dan tidak habis dalam waktu singkat. Pola pikir para nelayan ini yang paling penting untuk dapat memajukan perekonomian mereka sendiri. Pihak pemerintah pun akan mendampingi para nelayan dari mulai produksi packaging, pemasaran, hingga manajemen keuangan.

Jenis pelatihannya pun beragam, seperti merajut, menjahit, dan sebagainya, dan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing nelayan pantai depok. Ini yang paling penting dari sekedar hanya memberikan pelatihan, harus ada pihak dari pemerintah yang mendampingi para nelayan ini sehingga mereka menjadi mandiri dan dapat mengelola usaha dengan baik sampai mereka mandiri. Adapun pelatihan yang lain adalah program pelatihan life skill, life skill merupakan pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat nelayan pantai depok.

Pengadaan pelatihan pendidikan kecakapan hidup ini merupakan satuan Pendidikan Non Formal difokuskan pada upaya pembelajaran para nelayan pantai depaok yang dapat memberikan penghasilan dengan mengacu kepada kebutuhan masyarakat, kebutuhan pasar dan potensi lokal dan tak lepas dari peningkatan SDM dan pemanfaatan SDA. Kecakapan Hidup melalui Pendidikan Non Formal diselenggarakan guna meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan sikap para nelayan pantai depok sehingga dapat belajar dibidang pekerjaan atau usaha tertentu sesuai dengan bakat, minat dan potensi diri yang mengacu pada potensi fisik dan jiwanya sesuai dengan potensi lingkungan, sehingga mereka memiliki bekal kemampuan untuk bekerja atau berusaha mandiri. Wilayah pantai depok adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Keterampilan yang diselenggarakan dalam program Kewirausahaan ini adalah jenis keterampilan produksi atau jasa.

Sebenarnya pelatihan ini dapat diberikan dengan bekerjasama juga dengan beberapa Universitas yang ada di area Jogjakarta yang peduli terhadap perekonomian masyarakat nelayan pantai depok, dengan membuat pelatihan singkat yang dapat dilaksanakan secara berkala. Para mahasiswa ini dapat mencari sponsor dari beberapa perusahaan yang mempunyai program CSR atau perusahaan yang mempunyai produk-produk yang dapat menunjang pelatihan ini. Salah satu contohnya adalah PT. Indofood dengan program pelatihan UKM membuat roti yang sedang gencar-gencarnya di keluarkan oleh pihak PT. Indofood dalam membangun kemitraan dengan para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) makanan berbasis terigu.

Pendampingan pelatihan ini sendiri merupakan bantuan dari pihak luar, baik perorangan maupun kelompok untuk menambahkan kesadaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan para nelayan pantai depok. Pendampingan diupayakan untuk menumbuhkan keberdayaan dan keswadayaan agar para nelayan yang didampingi dapat hidup secara mandiri. Pendampingan nelayan pantai depok merupakan kegiatan untuk membantu individu maupun kelompok yang berangkat dari kebutuhan dan kemampuan para nelayan yang didampingi dengan mengembangkan proses interaksi dan komunikasi untuk para nelayan pantai depok serta mengembangkan kesetiakawanan dan solidaritas nepayan pantai depok dalam rangka tumbuhnya kesadaran masyarakat sebagai manusia yang utuh, sehingga dapat berperan dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Demikian hasil pembahasan kali ini. Penulis Vini Tresni terimakasih.