Artikel Penelitian Hubungan Petani Tebu dan Pabrik Gula
Hubungan Petani Tebu dan Pabrik Gula
Tebu atau gula merupakan salah satu komoditi strategis yang penting dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga stabilitas ketersediaan gula di pasaran dengan mencanangkan program swasembada gula yang tercantum dalam program Ketahanan Pangan Nasional. Pemerintah juga melakukan impor gula demi mencukupi kebutuhan nasional yang selalu meningkat permintaannya. Impor gula ini bak buah simalakama di kebun sendiri karena disatu sisi program ini membantu dalam mencukupi kebutuhan nasional. Namun disisi lainnya, hal ini sangat merugikan para petani tebu dan bertolak belakang dengan tujuan program swasembada gula. Selain mencanangkan program swasembada gula, Pemerintah juga mengatur sistem tata niaga gula dimana pemerintah ingin melindungi petani tebu/gula dari beredarnya gula rafinasi (gula impor).
Hubungan kerjasama antara petani tebu dengan pabrik gula ibarat simbiosis mutualisme dimana keduanya mendapatkan keuntungan dan tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan. Petani tebu dapat menjual hasil panennya kemudian digilingkan di Pabrik gula sehingga ia mendapatkan gula dan hasil lainnya yang dapat dijual kembali. Di sisi lain pabrik gula yang membeli tebu dari petani dapat melakukan proses produksinya sesuai dengan kapasitas penggilingannya. Namun, pada kenyataannya hubungan ini tidak berjalan mulus dimana petani tebu merasa dirugikan karena factor Harga Pokok Penjualan (HPP) gula yang rendah berkisar Rp 8.900,-. Harga ini sangat jauh dari harga yang telah ditentukan oleh pemerintahan di jaman orde lama yaitu 2,5 kali dari harga gabah atau sekitar Rp12.500,-. Padahal beban biaya yang dikeluarkan petani sangat tinggi seiring dengan fluktuatifnya harga BBM, harga pupuk, biaya tenaga kerja dari mulai penanaman sampai pembabatan tebu dan biaya lain-lain yang tak terduga.
Selain HPP gula yang rendah, factor ketidakjelasan tingkat rendemen juga sangat mempengaruhi hasil para petani tebu. Rendemen tebu atau tingkat kadar gula yang terkandung dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Sebagai contoh, rendemen tebu 10% maka dari 100 kg tebu akan menghasilkan 10 kg gula (natura). Rendemen tebu dari setiap daerah selalu berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa factor seperti media tanam, bibit/ varietas tebu dan juga curah hujan. Tebu yang ditanam pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi akan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kadar gulanya, sehingga akan mempengaruhi pada tingkat rendemen.
Pak Supri (47 tahun) yang bekerja sebagai mandor atau sinder di salah satu pabrik gula tebu di PG Gondang Winangun menjelaskan bahwa saat ini system kerjasama yang terjalin diantara pabrik gula dan petani tebu adalah bagi hasil. Petani tebu akan mendapatkan gula dan hasil turunan dari gula sesuai dengan ketentuan yang berlaku salah satunya adalah tingkat rendemen yang dapat
dilihat dari table dibawa ini,
Jenis
|
Tingkat Rendemen
|
Bagi Hasil
|
|
Petani
|
Pabrik Gula
|
||
Gula
|
<
6%
|
66%
|
34%
|
Gula
|
>7%
|
70%
|
30%
|
Gula tetes
|
|
3%
|
sisanya
|
Petani dibedakan menjadi beberapa yaitu, petani kontrak yang lahannya disewa oleh PG atau petani yang bekerja untuk dilahan milik PG, petani lepas dimana petani ini dapat menjual bebas tebu hasil panennya, asal mendapatkan hasil rendemen yang lebih tinggi. Petani yang menjalin kerjasama dengan PG harus menjalani proses penandatangan MOU, dimana nantinya petani tebu hanya dapat menjual tebu miliknya pada PG kemitraan.
Sebagai seorang sinder yang memiliki tanggung jawab untuk menjalin kerjasama dengan petani tebu agar pada saat produksi (penggilingan) PG tidak kekurangan kapasitas bahan baku, terkadang PG harus membeli tebu dari petani lepas yang kebanyakan berasal dari luar Klaten misalnya daerah Sragen karena pasokan di daerah belum mencukupi kapasitas produksi. Hal ini dapat terjadi karena factor dari tebu dilahan milik PG atau petani kemitraan yang belum matang sehingga belum siap dipanen. Tak jarang, ketika musim penggilingan tebu menjadi rebutan dengan PG lainnya sehingga membuat harga tebu menjadi naik dari harga wajarnya. Sinder juga harus memastikan bahwa petani kemitraan mematuhi aturan kontrak yang telah disepakati karena tidak jarang adanya petani yang nakal seperti mendapatkan fasilitas pinjaman atau pupuk dari PG kemitraan kemudian menjual hasil tebunya pada PG lainnya.
Oleh karena itu, PG saat ini hanya memberikan fasilitas kepada petani tebu kemitraan hanya sebatas pemberian fasilitas pinjaman dana/ modal untuk menanam dan merawat tebu. Selebihnya untuk bibit ataupun pupuk, petani tidak mendapatkannya dari PG kecuali untuk lahan milik PG sendiri dan petani yang lahannya disewa oleh PG. Petani akan mendapatkan fasilitas pinjaman modal dari PG yang disebut dengan KKPE. Pinjaman ini adalah pinjaman dari bank yang dijamin oleh PG dengan system pembayaran dipotong dari hasil panen (penggilingan). Selain itu, para petani juga mendapatkan bantuan pinjaman dari Dana Guliran melalui koperasi yang dikhususkan untuk petani tebu.
Pak Sunardi yang bekerja sebagai mandor di lahan milik pihak ketiga yang bekerja sama dengan PG menjelaskan bahwa system kerja sama dengan PG terjalin dengan baik, hanya saja akan lebih baik jika tingkat rendemen dapat ditentukan dengan jelas dan transparan. Beliau mengharapkan tebu hasil panen miliknya atau tebu yang ditanam didaerah sekitar PG dapat ditentukan tingkat rendemennya dengan mengujinya lebih dulu sebelum dicampur dengan tebu milik petani tebu lepas yang berasal dari luar daerah seperti sragen. Hal ini dikarenakan jika tebu sudah tercampur maka pada saat pengujian dapat dipastikan bahwa rendemen tebu yang jelek atau dibawah 5% akan tertolong oleh tebu yang memiliki rendemen yang bagus atau diatas 5%. Meurutnya, kualitas rendemen tebu di Klaten dan DIY memiliki rendemen yang lebih tinggi dibandingkan tebu dari luar daerah. PG berani mendatangkan tebu dari luar daerah dan memberikan subsidi transportasi kepada petani lepas dikarenakan PG memdapatkan harga tebu yang lebih murah dibandingkan harga tebu yang diperoleh dari petani tebu disekitar Klaten/ DIY.
Petani tebu mengharapkan agar PG mendukung petani tebu disekitar Pabrik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya petani tebu agar tidak beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan.
Kesimpulan
Hubungan kerjasama antara petani dan pabrik gula diharapkan dapat lebih baik lagi dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yang seimbang. Pabrik Gula dapat lebih transparan dalam menentukan rendemen karena PG satu dengan yang lainnya tidak sama sehingga membuat para petani tebu merasa dirugikan karena mempengaruhi hasil yang didapatkannya dengan biaya yang sudah dikeluarkannya.Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan program swasembada gula dan tata niaga yang telah diatur sehingga para petani tebu dapat terlindungi dan dapat menetapkan harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Selain itu, Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pajak atas gula rafinasi sehingga dana yang diperoleh dari pajak tersebut dapat dialokasikan untuk pembibitan tebu ataupun pupuk.
Daftar Pustaka
http://sinderkebuntebu.blogspot.com/2009/10/apakah-sinder-kebun-tebu-itu.html; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.http://elisaerni.blogspot.com/2014/12/katya-tulis-ilmiah-pabrik-gula.html; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015
http://www.jatengprov.go.id/id/berita-utama/pg-harus-kedepankan-simbiosis- mutualisme; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.
https://wulanamigdala.wordpress.com/2013/01/09/peran-pabrik-gula-dengan- kemitraan-usaha-tani-tebu-tingkatkan-ekonomi-daerah/; Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015
(http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/files/0107L- TEBU.pdf); Diakses pada Sabtu, 28 Juni 2015.